Maraknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) saat ini seolah lupa bahwa di tengah keberadaan orang dewasa (yang memunyai hak pilih) juga ada anak, dan jumlah mereka tidak sedikit. Kealpaan hajatan Pilkada “melirik” anak adalah salah satu indikasi bahwa gema janji-janji Pilkada lebih banyak bernuansa klise belaka. Anak sebagai pelanjut generasi tak disentuh sedikit pun dengan program-program yang menjadi andalan pasangan-pasangan calon (paslon) yang bertarung. Hal ini membuat anak bagaikan berada di dunia luar yang tak seorang pun memedulikan hak-hak serta kepentingannya. Padahal, anak adalah bagian awal manusia untuk menjadi dewasa. Oleh karena itu, anak juga memunyai hak untuk meluapkan keinginannya sehingga dapat terakomodasi dalam program-program paslon.
Anak berada di segala sudut prikehidupan di dunia ini. Anak memenuhi celah-celah strata sosial yang keberadaannya sangat jelas dan berpengaruh. Anak bukanlah orang dewasa yang berbentuk mini, sehingga tidak benar jika aktifitas-aktifitas yang ditumbuhkan di suatu daerah hanya yang bersentuhan dengan orang dewasa. Orang dewasa dengan “rakusnya” mengangkangi segalanya demi kepuasannya belaka tanpa memikirkan anak-anak. Bahkan, orang dewasa yang telah menjadi orangtua yang memunyai anak sekalipun, lupa akan hal tersebut. Pilkada adalah salah satu contoh nyata. Gelaran pesta demokrasi ini hampir seluruhnya berkenaan dengan orang dewasa. Pilkada hanya menyebut kata “anak” itupun sewaktu membuat larangan untuk ikut berkampanye. Jelas, bahwa anak juga memunyai hak untuk ikut menjadi “bagian” dari Pilkada. Mereka (anak-anak) berhak menjadi bagian pertimbangan dalam menentukan pilihan seseorang.
Jika anak dapat menyampaikan gelora keinginannya untuk ikut serta dalam hajatan Pilkada ini, tentu sebagian yang disampaikan adalah bahwa program apa yang engkau janjikan untuk anak? Apakah sarana bermain kami akan tetap ada, atau bertambah, atau malah menjadi hotel dan pusat pertokoan? Anak juga akan berteriak untuk mengajak orangtuanya atau pemilih lainnya untuk memilih paslon yang peduli anak. Meski demikian, anak memunyai kemampuan daya ingat yang tinggi. Jika memang ada paslon yang berjanji padanya, maka sampai kapanpun mereka akan mengingatnya. Mereka akan menagih janji itu, bahkan akan “mengutuk” jika janji untuknya dilanggar.
Sebenarnya, kecintaan orangtua (orang dewasa) kepada anak dapat direalisasikan dengan mengondisikan suatu tempat atau daerah menjadi ‘ramah anak’. Jika ada paslon yang dapat menyerap aspirasi anak melalui kongres anak secara sederhana tentu akan lebih baik. Memang benar, anak tidak memunyai hak pilih, tetapi rasa peduli paslon terhadap anak akan melahirkan empati-empati murni dari orangtua (orang dewasa) untuk mempertimbangkan dalam menentukan pilihan dalam Pilkada. SEKIAN.