Bersaing dengan Guru Ekspatriat

kompetensi guru profesional

BERSAING DENGAN GURU EKSPATRIAT

Sejak dimulainya pasar bebas ASEAN (AFTA) pada 1 Januari 2003, arus liberalisasi pendidikan semakin tak terbendung. UU No 20/2003 memberikan angin segar bagi lembaga pendidikan asing untuk membuka cabang di Indonesia. Pasal 65 ayat (1) menyatakan, ”Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

kompetensi guru profesional

Implikasinya, lembaga pendidikan asing menjamur. Di Jakarta, misalnya, ada Singapore Primary School Kelapa Gading, Swiss German University di Serpong. Di Kota Pahlawan, ada Surabaya Japanese School. Sekolah-sekolah asing tersebut mengembangkan kurikulum berstandar internasional dan tergabung dalam International Baccalaureate Organization (IBO). Formulasinya, sekolah asing berdiri dengan peserta didik anak Indonesia, namun kurikulum dari negara asal.

Meski tergolong mahal, peminat sekolah asing cukup banyak. Terutama dari kalangan wali murid yang berpendidikan tinggi dan tentu juga dari kalangan the have. Mereka merasa lebih percaya menitipkan anaknya ngangsu kawruh ke sekolah asing daripada sekolah lokal. Karena itu, jamak dijumpai sekolah asing nolak-nolak siswa. Pagunya sudah terpenuhi jauh sebelum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dibuka.

Meski begitu, keberadaan sekolah asing tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, selain mampu menumbuhkan kompetisi pendidikan, kehadirannya merupakan sebuah jawaban atas keinginan masyarakat tentang perbandingan kualitas pendidikan. Semakin banyak lembaga pendidikan, tentu akan semakin banyak pilihan. Dengan begitu, masyarakat akan cepat dan tepat menentukan pilihan bagi pendidikan putra putrinya.

Bukan hanya itu, banyaknya sekolah asing yang beredar memberikan keuntungan secara ekonomi. Sebab, banyaknya siswa/mahasiswa yang sekolah di luar negeri hanya menguras devisa negara. Dengan adanya sekolah asing di Indonesia, tentu mampu mengurangi jumlah siswa/mahasiswa yang sekolah ke luar negeri. Bayangkan berapa besar devisa negara yang bisa diamankan.

Daya saing global

Keunggulan negara sekarang tidak lagi diukur dari melimpahnya sumber daya alam, melainkan ditentukan dari kualitas sumber daya manusia (SDM). Upaya meningkatkan SDM, tak bisa dipisahkan dari kedudukan, peran, dan fungsi guru. Di era global ini sudah sepatutnya guru diberi ruang agar berkarya dan memberi yang terbaik bagi putra-putrinya. Mereka harus dimotivasi agar selalu kreatif dan inovatif mengemas isi pembelajaran. Ini selaras dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 40 Ayat (2) huruf a: pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.

Globalisasi meretas batas antarnegara. Lalu lintas tenaga kerja termasuk guru semakin ramai. Sekolah-sekolah asing tumbuh subur di Tanah Air. Akibatnya, liberalisasi pendidikan tak terhindarkan. Sekolah domestik mau tidak mau harus berjibaku menghadapi kepungan sekolah asing. Guru pun harus bersaing dengan guru ekspatriat. Agar mampu bersaing di era liberalisasi pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang patut diperhatikan guru.

Pertama, guru harus senantiasa mengasah kemampuannya dalam berbahasa asing. Ini tak bisa ditawar karena masyarakat lebih suka menyekolahkan anaknya ke sekolah yang menyelenggarakan bilingual program. Yakni program sekolah yang mengarah pada pemakaian dua bahasa, bahasa Indonesia dan asing.

Kedua, guru harus high-tech. Ini penting untuk menyukseskan e-learning programme yaitu program sekolah yang mengarah pada kegiatan pendidikan yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Produk-produk TIK akan menuntun guru lebih kreatif dan inovatif dalam mengemas kegiatan belajar mengajar. Sehingga kegiatan pembelajaran menjadi lebih dinamis, menarik, dan menyenangkan

Ketiga, guru harus menulis. Guru harus menjadi pelopor dalam research and development programme. Program sekolah yang diarahkan pada penciptaan sekolah sebagai lembaga riset. Budaya menulis harus dijadikan tradisi keilmuan di sekolah. Guru yang terbiasa melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dan hasilnya diformulasikan dalam bentuk karya tulis, ia akan mudah mendiagnosis siswanya yang kesulitan belajar. Sebaliknya, guru yang alergi terhadap kegiatan menulis dan ogah melakukan PTK, tanpa disadari sebenarnya telah membiarkan anak didiknya berada dalam situasi ketidaktahuan. Artinya, sama dengan melakukan pembodohan.

Bila guru terus menerus memerhatikan dan melakukan tiga hal di atas, berarti guru telah memiliki daya pembeda dengan yang lain. Artinya kekuatan untuk bersaing dengan sekolah asing maupun guru ekspatriat telah terkantongi. Dan upaya membangun sekolah unggul yang didambakan masyarakat bukan lagi sebuah utopia