Ibnu Abbas, Ilmuwan Muda yang Mempesona

“… Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam dirinya berpadu keluasan ilmu, kesantunan perilaku, dan pemikiran yang bijaksana. Banyak orang sepakat, kecerdasan anak muda ini tidak perlu diragukan lagi. Tak heran bila sahabat senior semisal ‘Umar pun sering mengajaknya bertukar wawasan. Ialah pemuda yang sangat beruntung, mendapat doa langsung dari Rasulullah. “Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu.” Demikian Rasulullah mendoakan. Siapakah sosok pemuda itu?

 

Namanya Abdullah bin Abbas, lebih dikenal dengan Ibnu Abbas. Dia merupakan putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Lababah binti Harits, sering dipanggil Ummul Fadl, saudari ummul mukminin Maimunah. Ibnu Abbas lahir di Makkah, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Ia sepantaran dengan Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid.
Kunci kecerdasan Ibnu Abbas tidak saja terletak dari doa yang dipanjatkan Rasulullah melainkan dibarengi dengan usaha yang tak pernah letih. Ketika ada yang bertanya, “Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini, wahai Ibnu Abbas?” Ia menjawab, “Dengan lidah dan gemar bertanya, dengan akal yang suka berpikir.”

Kegigihan Ibnu Abbas untuk mempelajari ilmu terlihat sejak Rasulullah masih hidup. Waktu itu ia sangat ingin mengetahui tentang bagaimana Rasulullah shalat. Maka pada malam hari ia sengaja menginap di rumah bibinya, Maimunnah, yang juga adalah istri Rasulullah. Sepanjang malam ia berjaga. Ketika mendengar Rasulullah bangun hendak mendirikan shalat, Ibnu Abbas bergegas menyiapkan air wudhu untuk Rasulullah. Begitulah, Ibnu Abbas berhasil mereguk kesegaran ilmu dari sumbernya yang terjaga.

Setelah Rasulullah wafat, Ibnu Abbas merasa sangat kehilangan sosok guru sekaligus sumber ilmu. Meskipun demikian ia tak lantas larut dalam kesedihan berkepanjangan. Ghirah untuk terus mempelajari ilmu tetap terjaga. Ia dengan telaten menemui sahabat-sahabat Rasulullah untuk belajar.

Terkadang Ibnu Abbas sengaja tidur di depan rumah para sahabat untuk menunggu mereka. Sampai-sampai para sahabat merasa risih karena sebenarnya bisa saja Ibnu Abbas mengundang para mereka untuk mengajarkan suatu ilmu. Ketika sebagian sahabat berkata, “Wahai keponakan Rasulullah, mengapa tidak kami saja yang menemuimu?” Ibu Abbas menjawab, “Tidak, sayalah yang semestinya mendatangi Anda. Karena ilmu itu harus dicari, bukan datang sendiri.” Sebuah potret pengorbanan dan penghormatan seorang murid kepada gurunya.

Dengan kegigihannya dalam mencari ilmu, Ibnu Abbas mengusai beberapa bidang ilmu, di antaranya, ilmu fikih, genetis Arab, strategi perang dan sejarah. Selain bidang utama yang ia pahami yakni tafsir. Kedekatannya dengan Rasulullah juga mengantarkan Ibnu Abbas menjadi salah seorang perawi yang terbanyak meriwayatkan hadits, yakni sekitar 1.660. Para ahli hadits mengakui bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas termasuk hadits yang berkualitas sahih.

Karena keluasan ilmunya, Ibnu Abbas sering mendapatkan posisi istimewa. Pernah suatu ketika para sahabat yang ikut perang Badar melayangkan tanya kepada Umar bin Khatab. Mereka merasa heran sebab Umar selalu mengajak Ibnu Abbas menghadiri majelis para sahabat senior. Pada waktu itu usia Ibnu Abbas masih belia. “Sesungguhnya ia adalah anak yang kalian ketahui, yaitu anak yang lahir dari pendidikan Nabi Muhammad Saw. dan merupakan sumber ilmu.”

Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas pernah diberi amanah sebagai gubernur di Basrah. Kebijaksanaannya dalam memimpin rakyat begitu terasa dan membekas. Mereka bertutur tentang resep yang membuat mereka kagum dengan gubernurnya. “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Apabila ia berbicara, ia mengambil hati pendengarnya; Apabila ia mendengarkan orang, ia mengambil telinganya (memperhatikan orang tersebut); Apabila ia memutuskan, ia mengambil yang termudah. Sebaliknya, ia menjauhi sifat mencari muka, menjauhi orang berbudi buruk, dan menjauhi setiap perbuatan dosa.”

Salah satu kecemerlangan Ibnu Abbas juga ditunjukkan ketika orang khawarij berusaha memerangi Ali bin Abi Thalib. Ia berusaha menyelesaikan persoalan dengan jalan dialog. Ia mendatangi orang-orang khawarij dan mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan ketidaksukaan mereka kepada Ali. Seorang di antara golongan khawarij kemudian menyampaikan alasan mereka.

Pertama, karena Ali menghukumi manusia tidak dengan hukum Islam. Kedua, Ali berperang tanpa mengambil tawanan dan ghanimah (dalam riwayat dijelaskan bahwa perang yang dimaksud ialah perang Jamal/Unta antara kelompok Ali berhadapan dengan kelompok Aisyah). Ketiga, Ali menghilangkan gelar amirul mukminin saat melakukan perjanjian. Setelah tidak ada lagi alasan lain. Ibnu Abba kemudian menjawab.

Pertama tentang peristiwa tahkim terhadap Mu’awiyah, Ibnu Abbas mengutip ayat, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam [juru damai] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa: 35)”.

Kedua, tentang keengganan melakukan tawanan dan merampas ghanimah, sebab yang dihadapi adalah Aisyah yang merupakan istri Rasulullah sekaligus ummul mukminin, ibunya orang-orang yang beriman.

Ketiga, tentang penghapusan gelar amirul mukminin ketika melakukan tahkim terhadap Muawiyah, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa Rasulullah pun pernah menghapuskan gelar Rasulullah saat menjalani perjanjian Hudaibiyah. Kemudian hanya ditulis Muhammad bin Abdullah. Meski demikian Muhammad tidak kehilangan kewibawaannya sebagai seorang Rasulullah. Mendengar penjelasan ini, efeknya sekitar 4.000 orang kemudia kembali kepada Islam yang lurus.

Langkah-langkah penting yang dilakukan seorang pemuda bernama Ibnu Abbas itu memberikan kepada kita gambaran bahwa generasi awal umat ini telah memiliki kematangan emosi meskipun usia mereka masih belia. Faktor pendidikan terutama dalam bidang akidah serta dukungan dari lingkungan sekitar telah membentuk para pemuda pada masa itu mempunyai kepribadian yang kokoh. Tidak mudah tergoyahkan oleh pelbagai cobaan yang datang.

Seiring berjalannya masa, pemuda yang dijuluki Umar sebagai ‘pemuda tua’ sekaligus cikal-bakal Daulat Abbasiyah itu jasadnya kian merenta. Di usia senja, Ibnu Abbas mendiami Thaif sampai ajal menjemput dalam usia 71 tahun bertepatan dengan 68 H. Umat Islam pada waktu itu merasa sangat kehilangan. Hingga seorang Abu Hurairah mengungkapkan, “Hari ini kita telah kehilangan Ulama umat.”