Ken Arok Mati Tiga Kali

siapa ken arok

KEN AROK MATI TIGA KALI

Tugas guru tidak hanya sekedar menyampaikan materi untuk mengejar target kurikulum. Peserta didik tidak seharusnya sekadar menghafalkan materi pelajaran. Sejarah bukanlah masa lalu yang tanpa arti. Bukan pula dongeng penghantar tidur. Juga bukan legenda yang penuh dengan hal-hal irrasional. Sejarah adalah peristiwa masa lalu yang bisa dijadikan dasar untuk memprediksi perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Fakta sejarah diyakini dapat memprediksi kecenderungan apa yang bakal terjadi di kemudian hari. Karena itu, ruang dan waktu menjadi kata kunci dalam belajar sejarah. Alvin Toffler merupakan salah satu penulis yang memanfaatkan data-data sosiologis baik yang terjadi pada masa lalu maupun saat ini sebagai acuan memprediksi terjadinya perubahan dalam masyarakat secara luas.

Dalam bukunya The Third Wave, ia memprediksi gelombang ketiga perubahan besar sepanjang sejarah kehidupan manusia. Perubahan pertama terjadi ketika manusia mengenal cara bercocok tanam dan meninggalkan masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Gelombang kedua terjadi pada saat manusia mulai meninggalkan tenaga manusia dan menggantikannya dengan mesin. Ini ditandai dengan Revolusi Industri di Inggris. Sementara, gelombang ketiga yang diramalkan Toffler adalah era informasi. Siapa yang menguasai informasi, itulah yang bakal survive di era globalisasi. Merebaknya Information Technology (IT) saat ini menjadi tanda-tanda kebenaran ramalan Toffler.

Apabila dicermati, yang dilakukan Toffler tidak bisa dipisahkan dengan sejarah. Ia mampu merajut tiga dimensi waktu. Menjadikan masa lalu sebagai dasar mengambil langkah pada masa kini, dan masa kini dijadikan pedoman untuk memprediksi masa yang akan datang. Dari sinilah kemudian muncul kata-kata bijak, hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan lusa, harus lebih baik dari hari ini.

Atas dasar itu, maka pembelajaran sejarah di sekolah patut dikreasi agar lebih bermakna dan berdaya guna. Tujuannya agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang bisa dijadikan bekal. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali menyajikan pembelajaran sejarah dengan berbagai pendekatan. Tugas guru tidak hanya sekedar menyampaikan materi untuk mengejar target kurikulum. Peserta didik tidak seharusnya sekadar menghafalkan materi pelajaran. Lebih dari itu, guru harus menyibukkan diri mengemas proses pembelajaran.

Dalam banyak kasus, pembelajaran sejarah kerap dilakukan ala kadarnya. Guru tidak mau repot mengurusi pembelajaran. Ngapain susah-susah toh bayarannya sama. Akibatnya, jamak dijumpai peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang sama. Pada tema Kerajaan Singosari, misalnya. Ketika guru Sejarah di SD menerangkan, Ken Arok raja pertama Singosari itu akhirnya tewas dibunuh anak tirinya sendiri, Anusopati.

Guru Sejarah di SMP mengajarkan, setelah mengetahui bahwa Tunggul Ametung, ayahnya, dibunuh Ken Arok, Anusopati berencana melakukan balas dendam. Pada suatu kesempatan, Anusopati membunuh raja yang culas itu.

siapa ken arok
gambar : bahrurrizki.wordpress.com

Ken Arok adalah founding fathers kerajaan Singosari. Ia naik tahta setelah membunuh Tunggul Ametung dan mengawini Ken Dedes. Anusopati tidak terima setelah mengetahui bahwa Ken Arok adalah pembunuh ayahnya. Maka, anak Ken Dedes itu, dengan penuh emosional menusukkan keris yang dibikin Mpu Gandring itu ke arah perut Ken Arok. Ini cerita guru Sejarah SMA.

Dari tiga cerita itu berarti Ken Arok mati hingga tiga kali. Itulah setidaknya pengalaman belajar yang didapat peserta didik dalam pembelajaran sejarah selama ini. Kematian pertama diketahui ketika di SD. Kematian kedua dijumpai pada saat di SMP. Dan di SMA, mereka menjumpai Ken Arok tewas untuk kali ketiga. Mereka hafal di luar kepala. Hal ini terjadi karena dalam proses pembelajaran sejarah, guru melakukan pendekatan yang sama.

Contoh kasus di atas semestinya tak perlu terjadi manakala guru sejarah menyibukkan diri mengemas isi pembelajaran secara apik dan melakukan pendekatan yang tepat. Namun, hal itu jarang dilakukan. Yang terjadi guru kerap menugasi peserta didiknya menghafalkan materi pembelajaran.