Perlawanan Sastra Terhadap Wacana Bunglon

Tatkala tantangan kehidupan menjadi suatu hal yang biasa dan sedikit nyeleneh. Orang dan segala yang berada di sekitarnya juga menjadi pemeran kehidupan tersebut, maka pencerahan tinggal menunggu dari celah-celah penyatuan kehidupan tersebut. Celah-celah yang terlihat bagai retakan dari tantangan yang juga kehidupan itu akan mengeluarkan cahaya harapan akan munculnya sesuatu yang beda. Sesuatu yang dulunya lumrah menjadi sangat asing bagi manusia yang berlumpurkan tantangan tadi.

Saat ini, di negeri ini, terbentang suatu tantangan nyata yang membuat keos hati insan di dalamnya. Tak ada lagi “dentuman” semangat untuk memajukan bangsa dari anak-anak negeri ini. Sudah jarang juga telinga ini mendengar nyanyian “negeri khatulistiwa” yang gemah ripah loh jinawi itu. Semua terhisap oleh sebuah pusaran “opera sabun” kelicikan prilaku elite negeri. Meski simbolik namun pusaran itu sangat kuat. Bourdieu 1989, mengakui kekuasaan simbolik dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Negara telah gagal! Teriakan itu bagaikan jaring-jaring spiderman yang saling kait mengkait menjalar ke semua elemen berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai haluslah yang dapat keluar dari kungkungan jaring ketat yang melingkupi negeri ini. Nilai-nilai yang sebenarnya telah tersimpan bibitnya pada setiap individu negeri ini yang dulu dikenal dengan kehalusan budinya.

Sastra dan Wacana Bunglon

Celah dari penyatuan tantangan kehidupan serta bibit kehalusan pada individu akan menjadi gabungan pendobrak yang meski kecil tapi merupakan harapan yang hampir satu-satunya. Sesuatu yang otonom dan berideologi harus menjadi jawabannya. Hal tersebut dapat ditemukan dalam sastra. Sastra adalah kemurnian yang dapt muncul pada situasi ketidakmurnian. Meski merupakan ekspresi sosial budaya, seperti yang diungkap Hawkes 1989, bahwa karya sastra merupakan ekspresi sosial budaya yang dipantulkan seorang individu. Namun, kemurnian itulah yang menjadi intinya, dan perlu diingat sastra adalah gejolak permaknaan sesuatu, meski sesuatu itu telah lama padam atau mati. Benarlah penegasan Prof. Rapi seorang Dosen Sastra di UNM Makassar 2008, bahwa karya sastra merupakan hal yang bermakna jelas. Makna jelas sebagai pendobrak “keangkuhan” wacana elite yang semakin menggila dan tentu kotor.

Sastra adalah sinar cerah itu. Meski akan selalu ditutupi oleh “sastra palsu” yakni wacana elite. Wacana yang selalu ditebar ke berbagai media tebar wacana. Sastra palsu, dikatakan demikian karena seringnya wacana berbunglon sastra. Bourdieu mengungkap bahwa wacana identik dengan doksa, sedangkan wacana yang meliputi kekuasaan adalah ortodoksa, sementara yang selalu mengguncang kekuasaan adalah heteodoksa. Tentu Bourdieu tak secara gamblang menunjuk pada pembentukan sastra palsu terhadap aktifnya wacana-wacana yang keblinger dari para elite seperti yang terjadi saat ini di negeri ini.

Sastra bukan wacana yang sangat mudah menjadi “bunglon” tadi. Seringnya doksa yang diungkap dijadikan heterodoksa padahal merupakan ortodoksa. Artinya, usaha membuat diri tertindas agar menjadi senjata ampuh dalam menarik simpati. Sastra tak akan pernah “melacurkan” kemurniannya demi kekuasaan yang serba simbolik. Ashcroff 1989, mengingatkan bahwa rekayasa simbolik selalu masuk dalam program kekuasaan. Sama jika disimpulkan bahwa kekuasaan adalah kebohongan yang terprogram.

Meraih Kemurnian

Berani mengambil resiko adalah sesuatu yang jarang dilakukan. Mencari aman adalah pelarian instan dan mudah sebagai karakteristik terlingkunginya dari anasir-anasir kelumrahan kehidupan. Namun, tentu tak perlu “patah arang” untuk segalanya. Memburu kemurnian, itulah jawaban atas semua kekotoran yang sulit lepas dari “jaring laba-laba” tadi. Tantangan akan berat, terutama dari kekuasaan yang selalu menyebar virus sastra palsunya. Meski Fairlouch memastikan adanya wacana yang dilingkupi oleh hegemoni kekuasaan, namun kemurnian akan meredam dampak buruknya.

Kritik wacana terhadap sastra yang menyatakan bahwa terjadi pertentangan juga di dalam sastra, tentu kurang fair. Pertentangan sastra adalah penyatuan visi dari berbagai bentuk dalam kaitan meraih kemurnian sejati. Begitu murninya sastra memandang keseluruhan, sehingga letak perbedaan sastrawan dan sejarahwan pun sering menjadi anekdot. Bahwa sejarawan mengungkap apa yang terjadi sedangkan sastrawan mengungkap apa yang semestinya terjadi. Tapi, bukan pula sastra mengungkap hal yang tidak logis demi meraih kemurnian tersebut. Teori Aristoteles menegaskan bahwa hukuman yang paling berat pada sastra jika ujung pangkalnya tidak logis. Sekian