Kompleksitas pendidikan merupakan sebuah keniscayaan yang mesti disikapi dengan bijaksana. Hal tersebut karena kompleksitas sering menimbulkan berbagai persoalan. Namun, istilah patah arang dalam menyikapi persoalan tentu tak ada dalam kamus setiap insane pendidikan yang memang mengharapkan pendidikan di Indonesia pada umumnya berjalan dengan semestinya. Semua stakeholder pendidikan, terutama guru harus mampu berbuat yang lebih demi hal tersebut. Istilah kecil besar dalam peran mewujudkan pendidikan yang lebih baik, tidak dikenal. Apalagi peningkatan mutu pendidikan diperlukan sinergi semua pihak. Guru dapat mulai dari pembenahan kelas yang setiap hari menjadi tujuan aktifitasnya. Di kelaslah para siswa yang akan menjadi penerus bangsa ini di godok.
A. Keangkeran Sekolah
Apa yang terbersit dalam pikiran kita, jika mendengar kata “sekolah”? Ternyata sangat banyak orang yang membayangkan sebuah gedung yang terdiri dari beberapa ruang belajar di dalamnya, ada lapangan upacara, ada kantin, dan juga perpustakaan di dalamnya. Hampir-hampir, sekolah diidentikkan dengan sebuah penjara, yang mana para siswa yang telah masuk pada pagi hari harus suntuk di dalam dan tidak boleh keluar sebelum jam pulang sekolah. Untuk itu, sekolah dilengkapi pintu gerbang dari besi yang kuat dan biasanya juga dijaga oleh seorang petugas keamanan (satpam). Konsep “sekolah”, ternyata hanya dilihat dari pisik bangunannya saja serta diikutkan dengan sifat “keangkerannya”, padahal sekolah merupakan institusi yang kompleksitas ‘Sangat kurang yang mengungkapkan bahwa sekolah adalah tempat menimba ilmu, sekolah adalah tempat belajar yang baik, dan sekolah adalah sebuah tempat yang sangat digemari siswa untuk didatangi setiap hari.
Hal ini tentu saja adalah sesuatu yang wajar jika pengelolaan sebuah sekolah juga didasarkan atas tugas yang dinilai sebagai beban. Manusia-manusia yang mengelola sekolah hanya berpikiran sekedar “menunaikan tugas dan kewajiban”. Kepala sekolah hanya sekedar menjadi pimpinan institusi, meski menjalankan segala aturan yang ada, namun dengan kekakuannya maka terkesan tak ada yang diperbuatnya tanp ada instruksi dari aturan atau pimpinan di atasnya. Kepala sekolah, dengan hanya duduk saja di dalam kantor sambil memerhatikan absensi guru dan mungkin sekali-kali keluar keliling di kelas-kelas, itupun telah menjadi kepala sekolah yang normal dan tak ada satupun etika yang dilanggarnya. Kondisi ini akan lebih sempurna kevakumannya jika tak ada reward and punishment dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah kepada sekolah-sekolah yang berhasil atau tidak. Malah kondisi tersebut dapat menjadi tragis, jika kepala sekolah yang mendapat promosi adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan atau yang banyak “setorannya”.
Sekolah akan kehilangan daya tariknya, selain gaya kepemimpinan kepala sekolah di atas, juga sangat dipengruhi oleh kondisi guru-gurunya. Sebagai yang bersentuhan langsung dengan para siswa, guru sangat besar pengaruhnya dalam mewarnai corak sekolah. Guru yang hanya berprinsip sekedar meluluhkan kewajiban adalah salah satu contoh, akan membawa corak “hitam” pada sekolah. Guru yang dimaksud hanya memahami bahwa tugas mereka adalah : datang pagi, mengajar, mengerjakan administrasi inti, dan pulang. Semua yang dikerjakannya adalah bernilai standard, yang bila telah dilaksanakan, maka tidak ada tuntutan lagi kepada mereka. Hal yang mendasar sehingga sekolah kehilangan “rohnya” sebagai tempat strategis menimba ilmu, adalah karena faktor guru. Jika guru hanya berprinsip “selesai mengajar, habis persoalan” maka tak mungkin sekolah itu dapat berkembang dengan baik. Guru sama sekali tak memikirkan lagi proses transformasi ilmu kepada siswanya. Mereka seolah-olah beranggapan bahwa taka ada beban kepada mereka jika siswa tak mendapat apa-apa dari proses pembelajaran yang telah dilaksanakan di dalam kelas.
B. Interaksi Guru dan Siswa
Konsep hubungan guru dan siswa adalah konsep hubungan psikologis kekeluargaan, bukan hubungan antara orang pintar dengan orang bodoh, atau antara bos dengan anak buah. Interaksi dan komunikasi antara guru dan siswalah yang paling intens terjadi di sekolah, sehingga akan memengaruhi banyak hal, terutama nilai-nilai kepribadian yang akan berimbas pada kualitas sekolah. Kekakuan-kekakuan yang terjadi terhadap hubungan guru-siswa ini meneyebabkan sekolah dipandang sebagai sesuatu yang “menjengkelkan” dan sesuatu yang “membosankan” untuk dilihat atau bahkan dijadikan ajang pembicaraan. Sekolah dapat menjadi ajang pertemuan manusia-manusia yang tidak saling merindukan, atau manusia-manusia yang datang dengan keterpaksaan. Siswa, tak memiliki satu alas an pun untuk mereka hadir setiap hari di sekolah, kecuali karena mereka harus sekolah. Guru pun demikian, tak ada yang menarik untuk datang ke sekolah, kecuali karena sekolah adalah tempat tugasnya sebagai guru. Kalau sudah demikian, maka kebosanan, kejenuhan, keogahan, kejengkelan, kekesalan, dan banyak lagi yang akan terasa pada warga sekolah.
Tentu kondisi yang sangat buruk tersebut memunyai jalan keluar sehingga dapat dirobah, atau dapat mengantisipasi jangan sampai terjadi di sebuah sekolah. Di sekolah, interaksi yang paling sering dan bernuansa akademik adalah di kelas. Guru dan siswa, serta siswa dengan siswa saling memberi dan menerima di kelas. Ternyata kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan oleh ketidaksesuaian gaya mengajar guru dengan gaya belajar siswa. Baik buruknya interaksi dan komunikasi di kelas tersebut akan berdampak pada keseluruhan interpretasi terhadap sekolah baik pisik maupun non pisik . Oleh karena itu, pembenahan kelas dan interaksi yang terjadi di dalam kelas, harus menjadi perhatian oleh guru demi menciptakan nuansa akademik mengasyikkan di dalamnya. Pisik dan non pisik kelas harus ditata sedemikian rupa sehingga kelas menjadi tempat atau ruangan favorit siswa dan menjadikan kelas sebagai daya tarik siswa merindukan sekolahnya secara keseluruhan. Kreativitas seorang guru dalam mengelola kelas tentu sangat dibutuhkan dalam melakukan “renovasi” keberhasilan pembelajaran di kelas.
C. Arti Sebuah Kreativitas
Meski kreativitas adalah hal utama untuk melakukan gerakan “renovasi” kelas, namun yang tak kalah pentingnya adalah kemauan yang datang dari lubuk hati pling dalam seorang guru. Persoalan kemauan untuk berkreasi adalah persoalan mind set seorang guru. Apakah guru tersebut mempunyai keinginan untuk berubah, keinginan untuk menjadi guru yang lebih, keinginan untuk memikirkan keberhasilan siswanya dalam belajar, dan terakhir keinginan untuk berbuat demi bangsa dan Negara yang kita cintai ini, ataukah tidak sama sekali. Keyakinan bahwa seorang guru adalah profesi pintar, sehingga kreativitas merupakan sesuatu yang mudah bagi seorang guru. Kemauan untuk berbuat harus tumbuh dari dalam diri sendiri seorang guru, bukan merupakan paksaan atau terpaksa melakukannya. Guru harus menyadari keberadaan dirinya, bahwa mereka ada untuk siswa. Segala daya dan upaya yang dilakukan mereka dan semua pihak, termasuk pendanaan yang banyak untuk para guru, tak lain disebabkan karena keberadaan siswa. Oleh karena itu, guru harus berbuat semaksimal mungkin untuk siswa.
D. Membenahi Fisik Kelas
Kelas, yang biasa disebut RKB (Ruang Kegiatan Belajar) merupakan tempat yang cocok untuk dijadikan awal memotivasi siswa mencintai pendidikan secara keseluruhan. Kelas yang dikenal saat ini, praktis hanya merupakan ruangan yang dibatasi dengan dinding tembok yang berisi beberapa pasang meja kursi, lemari, dan papan tulis. Jika telah ada beberapa komponen tersebut, maka telah memungkinkan untuk dikatakan sebuah kelas yang dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran. Persoalannya adalah jika dikatakan kelas hanya identitas dan definisinya saja yang membuatnya menjadi kelas. Kelas haruslah benar-benar sesuai dengan filosofi pengadaannya yakni sebagai tempat guru mengeluarkan segala kompetensi demi siswanya menjadi baik dan pintar, serta kelas sebagai tempat siswa senang dan penuh kerelaan menerima transformasi pengetahuan dari guru dan dari seisi kelas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka tak ada lain yang harus menjadi perhatian serius adalah pembenahan kelas sehingga mampu sejalan dengan nilai filosofis kelas yang sebenarnya. Guru harus memulai dari kelasnya sendiri untuk melakukan perubahan kea rah yang lebih baik.
Membenahi atau merenovasi kelas dari segi fisik dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni eksterior dan interior. Sebelumnya, perlu dipahami bahwa secara umum kelas yang ada sekarang adalah kelas yang dijelaskan pada bagian sebelum ini, oleh karena itu membenahi kelas tersebut harus berani tampil beda atau tidak seperti yang biasa. Pada bagian eksterior adalah pandangan pertama sebelum memasuki kelas. Bagian ini penting sebagai penarik awal, kelas yang akan dituju. Kelas harus mempunyai ciri khas termasuk bagian luar (eksterior) yang tidak sama dengan kelas-kelas lainnya. Munculkan kebanggaan pada kelas tersebut tatkala dipandang bersamaan dengan kelas-kelas lainnya. Mungkin dapat dilakukan dengan memodifikasi cat yang unik pada dinding luar kelas. Juga dapat menggambar tokoh-tokoh dunia pendidikan baik dalam maupun luar sehingga menjadi motivasi siswa yang berada dalam kelas tersebut. Selain itu, assesoris dapat pula ditambahkan seperti taman atau bunga-bunga serta dapat pula hiasan-hiasan dinding baik hastakarya siswa maupun yang bukan.
Jika eksterior penting, maka interior (bagian dalam) dapat dikatakan lebih penting lagi karena pada bagian inilah interaksi dan komunikasi edukatif lebih banyak dilakukan. Banyak hal yang dapat dilakukan guru untuk pembenahan kelas bagian dalam, serta dapat dilakukan bersama-sama dengan siswa sehingga lebih terjalin rasa kebersamaan dalam memiliki kelas tersebut. Dari sisi pengaturan bangku dan meja belajar siswa, banyak modifikasi yang dapat dilakukan sehingga kejenuhan letak bangku dan meja belajar dapat teratasi. Bentuk-bentuk pengaturan seperti bentuk huruf U, bentuk huruf O, atau bentuk sejajar, berbanjar, dan lain sebagainya dapat dilakukan sebagai alternatif selain bentuk perkuliahan yang sering dilakukan. Selain itu, tukaran tempat duduk siswa sangat memungkinkan untuk dilakukan. Hal ini dapat mengatasi kekakuan komunikasi antarsiswa dan juga jika siswa mengalami kelainan penglihatan dan pendengaran dapat sedikit membantu mereka.
Pada sisi pajangan, tentu tak sedikit yang bisa dilakukan dalam “menghidupkan” kelas. Kuantitas pajangan tentu akan lebih banyak pada Sekolah Dasar dibanding SMA, namun segi kualitasnya tak boleh ditawar lagi. Harus mampu memberikan nuansa belajar pada siswa dengan keberdaan pajangan di dinding kelas bagian dalam. Papan data tidak monoton, seperti biasanya yang ada saat ini, seperti absensi, tugas kebersihan atau piket, dan jadual pelajaran. Mengapa tidak dipajang pula papan data tentang siswa yang memperoleh peringkat, apakah itu harian, mingguan, bulanan, dan semester. Hal ini dapat juga berfungsi reward yang merupakan kebanggaan pada diri siswa. Hasila kerja siswa dapat pula dijadikan pajangan. Pada bagian ini yang harus menjadi perhatian adalah jangan sampai pajangan itu dipajang terlalu lama tanpa ada perubahan-perubahan secara periodik.
Membangkitkan motivasi sangat penting diberikan kepada siswa. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk memberikan motivasi dengan pembenahan kelas bagian dalam adalah dengan menempatkan siswa yang baik dan pintar pada bagian depan. Ada tempat (meja bangku) di depan khusus bagi mereka yang unggul. Urutan tempat duduk siswa dapat diatur berdasarkan jam kedatangan di sekolah, sehingga pada bagian paling depan adalah siswa yang datang paling awal dan pada bagian belakang adalah siswa yang muncul di sekolah paling akhir. Cara lain adalah, siswa yang memperoleh nilai tertinggi pada saat tes harian atau pokok bahasan menempati tempat khusus di depan, palagi jika di plafon kelas terjumbai menunjuk ke bawah dengan tulisan “TERUNGGUL” atau “IS THE BEST”. Jika hal ini dilakukan, maka semngat kompetisi di kelas tersebut tak akan diragukan karena semua siswa pasti mengharapkan dirinya duduk di “bangku panas” tersebut.
E. Psikologi Kelas
Hal yang paling mendasar dalam pembenahan kelas adalah masalah psikologi kelas beserta isinya termasuk guru dan siswa. Tentu masalah psikologi tak dapat dilepaskan dengan bagian pisik kelas sehingga hampir seluruhnya mengarah kepada sisi kejiwaan terutama siswa sebagai objek sekaligus subjek dari keberadaan kelas. Perasaan memiliki kelas serta semangat “ketergantungan” pada kelas harus ditumbuhkan khususnya pada diri siswa. Merasa enjoy berada di kelas adalah awal konsep kelas yang sebenarnya telah mulai tercapai. Adapun yang paling utama adalah value dari interaksi dan komunikasi antara guru dan siswa harus terjalin dengan baik. Guru harus mampu menjadikan kelas sebagai tempat yang digandrungi siswa. Nilai-nilai dan karakter harus mampu terbentuk di kelas, sekurang-kurangnya dapat terjaga dengan baik.
Guru harus menjadi guru tulen yang menjadi teladan dari siswa. Seorang yang menjadi panutan siswa ada di kelas, yakni guru. Tempat yang dirasa oleh siswa merupakan tempat yang aman, tempat yang baik, tempat yang menantang, dan tempat yang asyik adalah di kelas. Pembenahan kelas, baik eksterior dan interior tadi harus menyatu pada suasana psikologis, sehingga rasa yang mencuat adalah benar-benar dari hati yang terangkum dalam perasaan senang berada di kelas. Jika perasaan senang ini telah merasuki siswa maka proses transformasi knowledge dan value sebagai inti dari keseluruhan proses pembelajaran di kelas akan dengan mudah dilaksanakan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, tetapi juga tentu bukan hal yang mustahil dilaksanakan. Dimana ada kemauan, di situ ada jalannya. Intinya adalah kemauan. Kemauan untuk berubah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Memperbaiki hal yang bergeser dari tujuan yang sebenarnya tidak mesti harus dilakukan dengan lingkup yang luas, apalagi hal tersebut bukan merupakan kewenangan semua orang. Begitu pula dengan beberapa hal yang mengganjal dalam dunia pendidikan secara keseluruhan, tentu ada batas-batas yang dapat dilakukan pembenahan sesuai kewenangan yang ada. Guru yang diyakini sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, tentu tak dapat tinggal diam mengetahui adanya karut marut pendidikan. Guru dapat melakukan hal yang dapat mendorong pendidikan berjalan dir el yang benar. Guru harus mulai dari sekolah, terkhusus lagi di kelasnya sendiri. Seperti yang telah dibahas secara gamblang dalam tulisan ini. Kelas merupakan lokasi terkecil dalam dunia pendidikan, namun yang paling menentukan dan dapat mendorong perubahan yang lebih besar demi pendidikan yang lebih baik. Dari kelaslah wajah pendidikan itu akan terlihat dengan lugas melalui siswa yang ditempa di dalamnya. SEKIAN.