“Guru harus bisa menjadi living book,” kata Satria Darma pada saat talkshow bertajuk Membangun Budaya Baca di Kelas : Resep Jitu Menarik Minat Siswa dalam Literasi Membangun Budaya Literasi di auditorium PPG UNESA Surabaya, Sabtu (29/6). Ketua Umum IGI itu tampil bareng bersama dengan Emco–sapaan akrab Moh. Khoiri– dan Ali Asy’ari, salah satu alumnus SM3T di Sumba Timur. Bertindak sebagai host adalah Eko Prasetyo, editor dan penulis buku.
Kegiatan yang merupakan hasil kerja sama antara Ikatan Guru Indonesia dengan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Universitas Negeri Surabaya diawali dengan launching buku Adam Panjalu karya guru-guru anggota IGI dan Jangan Tinggalkan Kami karya peserta SM3T di Sumba Timur. Adam Panjalu berisi cerita pendek serta best practice guru-guru Indonesia. Sementara, buku kedua berisi tentang kisah-kisah ganjil serta pengalaman mengajar di daerah terdepan, terluar, terbelakang khususnya di Sumba Timur.
Hadir guru-guru dari berbagai daerah di Jatim dan ratusan mahasiswa PPG Unesa yang baru saja mengikuti program SM3T di Sumba Timur. Tak hanya itu, Prof Budi Darma, Direktur Program PPG Unesa, Prof Dr Luthfiyah Nurlela, Djoko Pitono (jurnalis dan editor buku).
Acara diawali launching buku Adam Panjalu karya guru-guru anggota IGI dan Jangan Tinggalkan Kami karya peserta SM3T di Sumba Timur. Karya Adam Panjalu berisi cerita pendek serta best practice guru-guru Indonesia. Sementara, buku kedua berisi kisah-kisah ganjil serta pengalaman mengajar di daerah terdepan, terluar, terbelakang khususnya di Sumba Timur.
Prof Budi Darma sebagai keynote speaker menyampaikan pentingnya budaya literasi (keberaksaraan) dalam membangun peradaban bangsa. “Kalau kita jalan-jalan kemudian ada sebuah tulisan dan kita membacanya berarti kita menguasai literasi. Kalau pergi ke suatu tempat, kemudian kita disodori peta, namun kita tak bisa membacanya dengan benar berarti kita kurang menguasai literasi,” tutur sastrawan kelahiran Rembang itu.
Sastrawan yang baru saja mendapat anugerah sebagai cendekiawan paling berdedikasi itu menambahkan, budaya literasi mengalami perkembangan. Tak cukup hanya membaca, tapi juga harus bisa menulis. Artinya kita harus bisa membaca situasi, momentum, peluang dan sebagainya. Menulis berarti mengekspresikan apa yang ada di benak. Melakukan analisis kritis terhadap persoalan yang sedang mengemuka. Hanya orang-orang yang menguasai literasi akan menghasilkan tulisan yang baik.
Contohnya, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Padahal banyak tokoh wanita di negeri ini yang sepak terjangnya hampir sama dengan Kartini. Dewi Sartika misalnya. “Salah satu alasannya, Kartini memiliki kelebihan. Dia mau menulis untuk mengungkapkan pemikiran serta harapannya,” sambungnya.