NAMA, Apalah Artinya Sebuah Nama

Apalah artinya sebuah nama. Begitulah ungkapan orang-orang Barat terhadap sebuah nama. Bagi mereka, nama dianggap tidak memiliki arti dan makna apa-apa. Nama bukan sesuatu yang sakral. Juga bukan mencerminkan sebuah strata sosial seseorang. Pujangga Inggris, William Shakespeare berkata,”What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet”. Apa pun namanya itu sama. Seandainya diberi nama lain pun, mawar akan tetap harum.

Akan tetapi tidak demikian adanya bagi orang Jawa. “Asma kinarya japa,” katanya. Nama merupakan sebuah doa. Dalam tradisi budaya Jawa, nama dianggap sebagai sesuatu yang amat sakral. Ada semacam sugesti bahwa pemberian nama seseorang yang sembarangan bisa menimbulkan sebuah petaka. Keliru dalam memberikan nama dipercayai akan menimbulkan kesengsaraan hidup. Oleh karena itu, masyarakat Jawa tidak gegabah dalam memberikan nama. Bahkan ada ritual khusus dalam memberi nama, yakni bancakan/slametan atau doa bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri.

Mengganti nama adalah sesuatu yang lumrah terjadi dalam tradisi budaya Jawa. Misalnya, anak yang sejak lahir selalu sakit-sakitan, terpaksa diganti dengan nama Slamet (= Selamat). Ada anak yang sakit, sudah dicarikan obat ke sana ke mari tak kunjung sembuh — bahkan nyaris meninggal dunia — akhirnya namanya diganti Urip (=Hidup). Ada juga yang berharap anaknya selamat sepanjang hidupnya kemudian diberi nama Sugeng (=Selamat/hidup). Sementara, bagi yang kepingin anaknya terlahir sehat, kekar, dan kuat, diberi nama Santoso. Dan yang berharap agar anaknya tidak banyak menghadapi cobaan dan rintangan yang berarti dalam hidupnya dinamai Aman.

Di samping itu, nama juga mencerminkan gender. Paimin, misalnya, pemilik nama tersebut jelas laki-laki. Suminah, pasti diasosiasikan perempuan. Akan tetapi ada nama yang terkadang membingungkan. Ada orang yang bernama Sukarni, ternyata laki-laki. Ada juga orang yang bernama Rudini, ternyata perempuan. Kadang juga ada nama yang membuat orang lain bertanya-tanya. Contohnya, Sampun. Nah, ternyata nama tersebut merupakan sebuah tetenger, karena setelah sekian lama menikah, ibu anak tersebut tak kunjung hamil. Padahal, mereka tidak KB. Kawan-kawan mengatakan mandul. Setelah melakukan upaya medis akhirnya melahirkan juga.  Sebagai pertanda bahwa ia sudah melahirkan, nama lucu (Sampun) itu pun diberikan. Sampun artinya Sudah. Laki-laki atau perempuan. Ini juga membingungkan.

Ada juga tradisi mengganti nama yang dilakukan berkaitan dengan masalah strata sosial. Anak laki-laki yang sudah menikah dan atau naik pangkat/memperoleh penghargaan biasanya namanya diganti.   Ada istilah jeneng cilik (nama kecil) dan jeneng gedhe (nama besar). Misalnya, Pangeran Diponegoro, memiliki nama kecil Ontowiryo. Sutawijaya, setelah naik tahta sebagai raja Mataram Islam, ia berganti nama menjadi Panembahan Senopati. Pun juga Sultan Agung Hanyokrokusumo, nama aslinya adalah RM. Rangsang.

Tidak hanya nama orang, memberikan nama badan usaha pun tidak boleh secara serampangan. Nama badan usaha harus sesuai dengan apa yang dikehendaki pemiliknya. Hotel Majapahit, misalnya. Pemilik hotel tersebut memiliki ekspektasi agar hotel miliknya, bisa menuai kejayaan seperti yang pernah dialami kerajaan Majapahit. Ada warung makan “NUMANI”. Artinya, pemilik depot itu menginginkan agar setiap orang yang pernah makan diwarungnya selalu ingin kembali. Numani adalah bahasa Jawa, bentuk dasarnya adalah tuman yang artinya gak kapok. Kalau diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia adalah tidak jera, selalu ingin mengulangi. Ada pula orang yang memberi nama usaha kelontongnya dengan nama Toko Lumintu. Harapannya adalah untung kecil/sedikit tidak masalah yang penting lumintu (=terus menerus, tidak berhenti)

 

Bergeser

            Salah satu ciri kebudayaan adalah bersifat dinamis. Artinya budaya selalu berubah mengikuti perkembangan jaman. Di era globalisasi seperti sekarang ini, tidak ada satu pun wilayah yang mampu membendung mobilitas budaya. Perkembangan teknologi informasi mempercepat  pergerakan budaya tersebut. Ini berpengaruh langsung terhadap budaya ‘nama’ dan ‘panggilan’. Nama dan panggilan seseorang juga mengikuti perkembangan jaman. Nama Kamijan, Senimin, Genjol, Parti, Paijah, Suminten, Senimah, Mitun, Suminah, Tulkiyem, sekarang sirna dalam konteks sosiologis. Sederet contoh nama tersebut sudah dianggap kampungan, ketinggalan jaman, bahkan tidak membawa hokky (keberuntungan).

Pun juga panggilan. Emak, Mbok, Biyung, Kang, Yuk, Pak Lik (bapak cilik), Pak Wo (bapak Tua), Pak Dhe (Bapak Gedhe), sudah jarang kita dengar. Panggilan tersebut dianggap kurang gaul dan mencerminkan panggilan kelas bawah. Emak, Mbok, atau Biyung selalu identik dengan tandur di sawah, mepe karak (menjemur nasi yang sudah basi). Bapak selalu diasosiasikan dengan ngarit (mencari rumput) ngguyang kebo atau sapi (memandikan kerbau atau sapi). Sementara, Mama dan Papa diidentikkan dengan Shopping, jalan-jalan di Mall. Oleh karena itu, anak jaman sekarang kayaknya kurang percaya diri kalau memanggil orang tuanya dengan panggilan Emak, Mbok dan bapak. Mereka lebih suka memanggil dengan panggilan  Mama-Papa atau Mimi-Pipi.

Fenomena sosial-budaya di atas selain disebabkan karena perkembangan jaman juga disebabkan karena faktor psikologis, yakni mencari jati diri. Setiap orang tidak bisa lepas dari proses mencari jati diri, karena hal tersebut merupakan bagian dari tugas perkembangan. Jati diri bukanlah sesuatu yang diwariskan secara lahiriah. Jati diri selalu berproses. Berbagai variabel akan megubah jati diri itu. Pada saat-saat tertentu, suka arau tidak suka, sadar atau tidak sadar, seseorang akan bertanya pada dirinya sendiri. Siapakah sejatinya aku ini? Nah, ketika pertanyaan itu menggelayut, saat itu pula jati diri seseorang sedang berproses.

Menurut Budi Darma, ada tiga tahap penting dalam proses mencari jati diri, yakni bayangan gelap, persona dan anima. Bayangan gelap adalah ketidaksadaran seseorang dalam mencari jati diri.  Persona yaitu kepura-puraan yang dimunculkan di hadapan orang banyak dengan menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Pada tahap ini sebenarnya seseorang telah menemukan “Aku” tapi “Aku yang Ego”, bukan Aku yang Sebenarnya. Sedangkan anima adalah kepanjangan dari gender yang sebaliknya dari gender yang dimiliki seseorang.

Seseorang akan menemukan jati dirinya melalui proses individuasi. Individuasi adalah proses melemahnya keterikatan pada kelompok yang menyebabkan berkurangnya ketaatan pada kelompoknya sehinga individu tersebut berkembang sendiri secara terpisah. Dengan kata lain individuasi merupakan sebuah proses differensiasi, hasil akhir dari pengembangan kepribadian individu yang terpisah dan berbeda dengan dari yang lain. Pada fase individuasi ini seseorang sudah bisa menyimpulkan bahwa inilah Aku yang Sejati. Aku adalah Aku, karena Aku bukan orang lain. Dan Aku menjadi Aku karena ada perbedaan antara Aku dengan orang lain.