Sepuluhan chanel TV di Indonesia dengan gamblangnya setiap hari menyajikan pemberitaan yang memilukan hati bangsa ini. Tindak kekerasan dilakukan oleh orang-orang dari semua golongan tingkat sosial ekonomi, usia, maupun jenis kelamin. Main hakim sendiri, main keroyokan, tawuran, narkoba, mafia pajak dan hukum, sampai pada pengiriman paket bom. Selain itu, penjarahan terhadap keuangan negara, seakan-akan tak ada habisnya dilakukan justru oleh orang-orang berpendidikan tinggi, punya jabatan tinggi, dan nama yang tinggi pula. “Kekacauan” kondisi kebangsaan yang tersiar dengan jelas di tengah-tengah masyarakat tersebut, menjadikan bangsa ini seolah-olah kehilangan kebanggaan sebagai bangsa yang besar. Prilaku dan pola tingkah laku sebagian kaum elite bangsa ini yang mulai mengarah pada kondisi bejat tersebut mendorong seorang tokoh memopulerkan puisinya yang berjudul “Negeri Para Bedebah”.
Negeri Para Bedebah
Semoga perumpamaan dalam puisi Adji Massardi tersebut bukanlah Indonesia. Kondisi morat marit yang sering menghiasi pemberitaan tentu tak mewakili seluruh penjuru negeri ini. Negeri yang sangat luas dan terdiri puluhan ribu pulau ini. Memang tak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian anak bangsa telah mulai dirasuki rasa frustrasi atas bangsanya. Hampir tak ada hentinya, nilai-nilai kebobrokan tersajikan dan menjadi suatu kebiasaan baru di negeri yang dulunya dikenal sebagai negeri yang ramah tamah dan berbudaya ini. Namun, perlu diingat bahwa masih banyak pada bangsa ini yang belum terkontaminasi dengan “para bedebah” tadi.
Keramahtamahan bangsa Indonesia seakan hilang ditelan buminya sendiri. Muncul sifat yang sangat bertolak belakang yakni kebringasan. Nilai-nilai kejujuran seakan menjadi barang langkah dan tergantikan oleh keculasan dan kecurangan serta pembohongan yang menjadi umum. Penderitaan kaum miskin tak lagi membuat hati welas asih, tetapi malah menggerogoti hak si fakir oleh yang banyak harta. Tak hanya itu, banyak para petinggi dan pejabat serta orang-orang yang mengecap pendidikan tinggi justru menjadi biang kerok kemunafikan yang terus menjadi-jadi. Semua yang mengemuka dirana publik tersebut seakan mengiyakan bahwa negeri ini tak ubahnya adalah negeri para bedebah.
Tak perlu sakit hati dan marah jika memang negeri ini diidentikkan dengan negeri para bedebah. Bangsa ini harusnya bersedih dan merenung memikirkan apa yang telah hilang pada bangsa besar ini. Harus diakui bahwa masih membentang luas daerah-daerah yang penduduknya hidup rukun tanpa hiruk pikuk kekacauan dan menegakkan nilai-nilai etika serta karakter bangsa yang luhur. Hal inilah sebenarnya yang telah terlupakan pada kita semua, pemilik sah negeri dan bangsa ini, yakni karakter sebagai bangsa. Tak ada lagi yang mengarahkan dengan santun dan bijak untuk mencapai tujuan berbangsa. Orang-orang yang selanjutnya menjadi “ikon” adalah orang-orang bedebah yang tidak mempunyai karakter.
Kerja Besar dan Berat
Pengertian karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Kesimpulannya bahwa karakter dapat diidentikkan dengan watak. Berbicara tentang suatu bangsa, maka karakter suatu bangsa adalah apa dan bagaimana sifat dan kejiwaan suatu bangsa yang membedakan dengan bangsa lainnya. Ini pulalah yang menjadi penyebab sebagian anak bangsa telah hilang kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia. Bangsa ini telah kehilangan karakter. Masih teringat, bagaimana bangsa ini bangga terhadap nilai kegotongroyongan rakyatnya, sifat nasionalisme yang tinggi, nilai religius yang selalu terjaga, serta nilai-nilai kemanusiaan. Semua itu, menjadi sesuatu yang unik saat ini. Oleh karena itu, jalan terbaik untuk mengembalikan karakter bangsa yang agung tersebut adalah dengan Pendidikan Karakter.
Pentingnya pendidikan karakter sampai presiden SBY pada peringatan Hardiknas tahun lalu mengharapkan agar karakter bangsa diterapkan dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan karakter tentu akan menjadi sesuatu yang harus diterapkan dalam kehidupan, baik diri sendiri, keluarga, masyarakat, bahkan dalam berbangsa dan bernegara. Pembiasaan harus menjadi penekanan dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah. Bagaimana siswa mampu mengaplikasikan adalah yang terpenting, bukan materi pendidikan karakter itu yang ditekankan dan dinilai. Ini tentu harus diperhatikan sungguh-sungguh karena merupakan kerja besar bagi dunia pendidikan Indonesia demi mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini melalui pendidikan karakter tadi.
Selain itu ditingkat elite, harus ada kemauan yang tulus untuk mendukung gerakan penyebaran nilai-nilai karakter bangsa. Hal ini teramat penting karena para petinggi, pejabat, dan orang-orang intelektual bangsa ini sebenarnya adalah public figure yang selalu terpantau oleh masyarakat bawah yang mayoritas di negeri ini. Kerja ini memang besar dan berat. Besar karena kerja ini harus didukung oleh semua elemen dan lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena “kebedebahan” pada bangsa ini telah merasuk pada semua elemen dan lapisan masyarakat juga. Berat karena kerja ini harus menggali kembali karakter bangsa ini yang sudah sekian dalam tenggelam oleh tingkat “kebedebahan” yang semakin bedebah. Tapi tentu besar dan berat tak akan terasa jika semua bangsa ini turut andil berangkulan tangan dan menopang agar pendidikan karakter berhasil mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini.Semoga. SEKIAN