Sebut saja namanya Supri. Salah seorang siswa SMA yang saat ini sudah duduk di kelas XII. Usia dia di SMA tinggal beberapa bulan lagi. Sebentar lagi lulus. Dan sudah dua minggu ini, seperti juga siswa kelas XII lainnya, Supri tengah disibukkan oleh berbagai ujian praktek yang digelar secara marathon di sekolahnya.
Ada yang cukup berbeda dengan penampilan Supri hari itu. Ia terlihat berbeda dengan mengenakan kemeja putih, lengkap dengan stelan jas dan dasi berwarna gelap. Meski ukuran jas-nya agak kekecilan –bukan mustahil karena jas pinjaman–, tapi tetap saja ia terlihat berbeda dari biasanya.
Sejak pukul 7 pagi tadi, ia terlihat sibuk membolak-balikan beberapa lembar kertas. Ya, ia sedang menghapal. Pun demikian halnya dengan semua teman sekelasnya. Mereka tengah berusaha menghapal materi yang sebentar lagi harus dipresentasikan. Tidak tanggung-tanggung, ujian praktek hari ini guru pengujinya bukan satu orang, tapi tiga guru sekaligus. Beberapa saat lagi, Supri dan teman-teman sekelasnya harus tampil demi nilai untuk tiga mata pelajaran; Bahasa Inggris, TIK dan Ekonomi. Berhubung ujian praktek kali ini menentukan tiga nilai mata pelajaran sekaligus, wajar kalau para siswa terlihat cukup tegang.
“Tuh gening kasep ari rapih mah Supri teh.” Supri mendapat pujian dari Guru PKN yang kebetulan melewati pojok sekolah tempat dia menghapal. Supri hanya membalas dengan senyum dan anggukan yang samar.
Kalau mengingat keseharian Supri selama ini, bukan mustahil pujian dari Guru PKN tadi adalah pujian pertama yang ia dapatkan setelah hampir tiga tahun ia menimba ilmu di sekolah itu. Keseharian Supri yang teramat biasa memang sulit menjadi stimulan untuk lahirnya sebuah pujian.
Supri tidak terlalu pandai menjaga kerapihan pakaian. Rambutnya yang agak panjang kadang menutupi sebagian matanya yang cekung. Baik di dalam maupun di luar kelas, Supri memang orang yang pasif. Berkomunikasi seperlunya. Tidak ada satupun ekstra kurikuler yang pernah ia ikuti. Di dalam kelas, ia tidak pernah bertanya atau menjawab pertanyaan guru, kecuali jika ia yang ditanya. Dari sisi finansial, besar kemungkinan Supri berangkat dari keluarga yang juga sangat biasa pas-pasan. Tidak pernah bermasalah dengan kewajiban bayaran sekolah, tapi jarang juga terlihat nongkrong di kantin. Pas!
Dan, siapa peduli dengan seorang Supri yang teramat biasa itu. Tidak seorang pun. Tidak guru, tidak pula temannya. Menarik tidak, aktif tidak, tapi nakal pun tidak. Sekali-kali bolos tentu saja tidak cukup mampu menarik perhatian sekolah untuk fokus pada seorang Supri. Tapi hari ini, Supri berbeda. Sebelum sinar mentari terasa menggigit, ia sudah mendapatkan satu pujian.
Dan, saatnya ujian dimulai.
Satu per satu siswa dari kelas Supri masuk ke ruang uji, umumnya dengan wajah tegang dan tubuh sedikit gemetar. Wajar, mereka masuk sendirian. Berhadapan langsung dengan tiga guru penguji. Mereka harus menyampaikan materi presentasi yang berkaitan dengan ekonomi, tapi disampaikan dalam bahasa inggris, dan menggunakan teknik presentasi serta media PowerPoint. Ada yang hanya lima menit sudah keluar ruang uji. Tapi ada juga yang lebih dari limabelas menit masih juga belum keluar. Apa yang membuatnya berbeda? Biarlah itu menjadi rahasia para penguji.
Kini giliran Supri presentasi.
“Assalamu’alaikum…” Supri masuk ruang uji seraya mengucap salam. Ia mengangguk pelan pada para penguji, memohon ijin untuk maju ke depan. Postur tubuhnya memang sedikit membungkuk, tapi langkahnya terlihat rileks. Ketenangan gestural yang ia pertontonkan pada penguji sepertinya di atas rata-rata teman-temannya. Ia terlihat lebih tenang dibanding teman-temannya yang sudah lebih dulu masuk ruang uji.
“May I start my presentation now, Sir?” Supri mengawali aksinya dengan sebuah pertanyaan yang sedikit mengagetkan para penguji. Dari belasan siswa yang sudah masuk ruang uji, hanya dia yang memulai dengan permohonan ijin. Sementara teman-teman Supri umumnya langsung main tancap gas. Dan yang lebih mengagetkan, permohonan ijin tersebut ia lafalkan dengan fasih! Setidaknya untuk seorang Supri yang selama ini dikenal oleh para penguji. Supri yang teramat biasa untuk mendapat perhatian sedikit lebih.
Setelah mendapat ijin dari para penguji, Supri pun memulai presentasinya. Materi kata opening dia berbeda dengan yang lain, terlepas dari tepat atau tidak struktur bahasa inggrisnya, tapi yang jelas beda! Ia memang terbiasa sendirian, tidak terbiasa “diskusi” dengan teman-temannya. Sebaliknya, teman-temannya pun tidak pernah mengajak Supri berdiskusi. Boleh jadi Supri dianggap bukan sosok strategis untuk diajak diskusi, secara rangking dia di kelas pun lebih dekat dengan nomor sepatu.
Kata demi kata ia suguhkan dengan cukup fasih kepada para penguji. Aspek gestural Supri pun cukup mendukung, beberapa kali tangannya bergerak, sekedar mempertegas makna yang ia sampaikan secara verbal. Aplikasi ragam animasi ia gunakan pada objek-objek yang ada dalam slide presentasi secara tepat! Dan, ia tampil hari itu tanpa sekalipun menyentuh catatan alias tanpa teks!
Hingga masuk ke sesi tanya jawab. Dari lima pertanyaan yang disuguhkan penguji, ia berhasil menjawab empat di antaranya dengan baik. Hanya satu pertanyaan yang tidak bisa ia jawab dengan sempurna karena dia tidak memahami pertanyaan yang disampaikan dalam bahasa inggris. Tetapi saat dibantu dengan sedikit klu menggunakan bahasa Indonesia, pertanyaan itupun ia jawab dengan tepat!
Kompetensi Supri ternyata di atas rata-rata siswa di kelasnya. Guru penguji ekonomi sedikit tercengang dengan pemahaman Supri yang ternyata cukup luas. Kemampuan listening dan percakapan bahasa inggris Supri pun membuat guru penguji bahasa inggris terlihat menyukai Supri. Setidaknya dialog bahasa inggrisnya nyambung! Teknik presentasi dan penguasaan aplikasi PowerPoint Supri pun di atas rata-rata. Ruangan itu menjadi saksi, Supri bukanlah siswa yang terlalu biasa sebenarnya. Presentasi yang ia lakukan tentu saja tidak lebih baik dari para juara kelas, tetapi hari itu ia berhasil menjadi Supri yang baru, mengalahkan Supri yang selama ini orang kenal. Ia berhasil menjadi Supri yang jauh lebih baik!
“Supri, perlu kamu fahami, saya sebagai penguji memiliki standar penilaian yang beragam, karena pada dasarnya manusia itu juga beragam. Jika tadi yang tampil seperti kamu adalah juara kelas, tentunya bagi saya akan terasa biasa. Tapi menjadi berbeda ketika itu ternyata kamu, yang sejujurnya, maaf sekali, tadinya saya berfikir untuk seorang Supri itu, sekedar mau maju ke depan saja sudah baik. Tapi ternyata kamu memiliki potensi untuk berbuat lebih dari sekedar yang saya kenal selama ini. Potensi kamu sama besarnya dengan para juara kelas. Dan hari ini, bagi saya kamu adalah presenter tarbaik!”
Closing statement dari salah seorang penguji disambut applause oleh para penguji lain. Sementara Supri, terlihat mengusap matanya yang sedikit basah. Boleh jadi karena haru. Setelah hampir tiga tahun menimba ilmu di sekolah itu, akhirnya ia berkesempatan menikmati indahnya pujian para guru.
Hingga seluruh siswa kelas Supri selesai ujian, Supri tetap presenter terbaik.
***
Selepas maghrib, masih di hari yang sama dengan hari ujian praktek kelas Supri. Sebaris SMS masuk ke handphone salah seorang guru penguji.
“Pak, pami daftar SNMPTN sareng Bidik Misi masih tiasa keneh ayeuna? Teras pami abdi memenuhi syarat henteu pami ngiringan? Ieu abdi Supri.”
Tiba-tiba saja ada raut haru berbaur pilu yang menghiasi wajah guru penguji penerima SMS dari Supri. Sepertinya ia menyesal, menyia-nyiakan potensi siswanya hanya gara-gara siswa tersebut terkesan terlalu biasa. Dan, pujian sederhana tadi siang boleh jadi sangat berkesan bagi seorang Supri, yang memang hampir tidak pernah menikmati indahnya sebuah pujian. Hingga seorang Supri, tergerak untuk mengikuti SNMPTN, untuk mengadu nasib demi sebuah kursi di perguruan tinggi negeri. Seorang Supri berani memulai mimpi untuk masa depan yang lebih baik, hanya karena sebuah penghargaan yang sangat sederhana; pujian!
Maka pantaslah ketika seorang esais sekaligus penyair Amerika, Ralph Waldo Emerson, berujar; “The secret in education lies in respecting the student!” Rahasia dalam (sebuah proses) pendidikan terletak pada menghargai siswa!
Penulis adalah Guru di SMAN 1 Panawangan, Ciamis, Jawa Barat