Menjadi guru haruslah kreatif, maka sebutan guru kreatif itu lumrah bukan guru cantik atau guru tampan bahkan gurunya bruce lee. Predikat guru haruslah dari predikat yang bagus, guru profesional, guru berwibawa dan lain sebaginya.
tentang kreatifitas guru, Tidak bisa lagi guru menganggap remeh kreatifitas. Para guru harus sadar bahwa jatidiri dan denyut jantung seorang guru sebenarnya adalah kreatifitas itu sendiri. Sebelum akan menjadi guru profesional, profesionalisme memang diukur dengan ada tidaknya sertifikat atau ijazah guru yang dipunyai. Namun, setelah masuk ke dalam dunia guru, maka profesionalisme diukur dengan kreatifitas. Kreatifitas menandakan guru tersebut masih berprofesi sebagai guru atau hanya sekedar seseorang yang mengajar atau beraktifitas di sekolah.
Biasanya para guru tidak kreatif karena berlindung pada beberapa alasan klasik. Namun, alasan klasik tersebut dapat pula dijadikan alasan menjadikan guru lebih kreatif. Alasan klasik tersebut, dia antaranya adalah :
1 Kesibukan
Lebih tragis lagi jika kesibukan yang dimaksud adalah di luar urusan keguruan, walaupun itu sangat lumrah apalagi terkait mencari penghasilan tambahan. Tahu sendiri gaji guru honorer di indonesia tidak lebih besar dari sopir taxi armada tertentu.. Mengurus keluarga dan banyaknya aktifitas organisasi yang di luar nuansa keguruan, contohnya. Tak ada waktu untuk membuat terobosan-terobosan di bidang pendidikan, khususnya pada proses pembelajaran. Bahkan rutinitas mengajar di sekolah saja masih sering ketinggalan. Kesibukan mengurusi administrasi yang bertumpuk sebenarnya juga tak dapat dijadikan alasan. Hal ini memang sudah merupakan konsekuensi memilih profesi guru, sebagai pekerjaan utama. Meski demikian, pihak yang selalu mengadakan monev administrasi guru juga harus mengerti bahwa yang lebih utama dari administrasi seorang guru adalah kreatifitas. Jangan sampai pilihan jatuh kepada guru yang lengkap administrasinya sebagai guru teladan dan berprestasi dibanding guru yang kreatif. Akan lebih baik jika guru sibuk mengembangkan kreatifitasnya demi terciptanya pembelajaran yang lebih baik. Para tim monev guru dapat saja membuat daftar yang akan diperiksa antara lain: alat peraga apa saja yang dibuat guru, metode atau teknik mengajar apa yang baru digunakan guru, karya tulis apa yang dibuat guru, dan lain sebagainya.
2 Faktor Usia
Usia yang menjadi alasan ternyata tidak hanya karena sudah tua, tapi juga karena masih muda, namun para guru tua memang biasanya sulit berkembang apalagi hal yang berbau dengan teknologi.. Guru di atas 40 tahun banyak beralasan, sudah lewat masanya berkreatifitas, dan diberikan kepada guru yang masih muda. Celakanya, tidak sedikit guru usia di bawah 40 tahun beralasan, karena masih muda belum waktunya berkreasi, apalagi yang tua saja tidak melakukannya. Guru yang punya alasan ini sebenarnya yang paling mengecewakan. Pertanyaannya adalah, guru yang berusia berapakah yang dengan berani berdiri untuk memantapkan jatidirinya sebagai guru dengan kreatifitas itu? Sebenarnya, kreatifitas guru harus digeluti dengan suara hati atau datang dari guru itu sendiri. Namun, jika itu sulit untuk melihat hasilnya, maka dibutuhkan rangsangan dari luar diri guru. Pihak yang bertanggungjawab terhadap bergeliatnya pendidikan, seperti Dinas Pendidikan di daerah harus berpihak pada kreatifitas sebagai penilaian kepada guru. Tentu harapan kita bahwa akan muncul pernyataan-pernyataan yang menggembirakan dari sisi factor usia ini. Guru di atas 40 tahun akan mengatakan dirinya lebih pantas untuk kreatif karena telah menjadi guru cukup lama. Sedangkan, guru di bawah 40 tahun akan dengan lantang mempercayai dirinya lebih mampu berkreatifitas dibanding guru yang sudah senior. Tak ada kata kalah berkreasi dengan guru senior, tambahnya. Hebatkan!
3 Kurangnya Pengetahuan
Tidak tahu. Ada alasan yang dianggap ampuh untuk tidak menuntut guru berkreasi. Biar dipaksa, kalau memang tidak tahu, mau diapakan lagi? Suatu alasan pembelaan diri terhadap kewajiban guru yang sudah diluar kelogisan berpikir. Tuntutan kreativitas kepada guru adalah yang secara langsung berhubungan dengan profesi yang digelutinya, yakni guru. Bukan kreativitas yang di luar guru, seperti cara meningkatkan penjualan pedagang, bagaimana menanam padi dengan baik, cara jitu menarik perhatian perempuan idola, dan lain sebagainya. Bukan itu yang diminta! Semua guru telah menempuh pendidikan keguruan, sehingga diyakini bahwa mereka telah menguasai hal-hal yang berhubungan dengan profesi keguruan tersebut. Masalah kreativitas seorang guru bukanlah hal yang perlu menjadi beban. Kreativitas bagi guru harus dijadikan “makanan harian” sehingga tidak lagi menjadi beban demi peningkatan kualitas guru khususnya pada proses pembelajaran yang dilakoninya. Kreativitas yang harus dilakukan oleh guru semuanya berhubungan dengan guru sehingga tak ada sedikit pun alasan “tidak tahu” berkreasi jika memang mengaku diri sebagai guru. Mungkin yang dimaksud “tidak tahu” sebenarnya adalah “tidak mau”. Kalau benar “tidak mau” maka berakhirlah usaha untuk menjadi guru yang kreatif.
Ketiga alasan klasik inilah yang menjadi sumber “matinya” kreativitas guru. Alasan yang sebenarnya dibuat sendiri oleh guru yang memang menafikan kreativitas tersebut. Tulisan ini hanya bertujuan satu, yakni membangkitkan potensi kreativitas yang memang telah siap pada diri guru. Guru harus identik dengan kreativitas itu sendiri. Selamat berkreasi para guru.
Demikan setikdaknya tiga hal yang kerat dijadikan oleh guru untuk tidak berkembang, untuk masalah honor bagi guru honorer memang tidak bisa dipungkiri lagi. Mana bisa berkembang jika pendapatannya untuk beli bensin ke sekolah dan untuk makan siang saja tidak cukup.