Fakta, Tingginya Pendidikan tak Jamin Mudah Peroleh Pekerjaan

pengangguran terdidik

YOGYAKARTA — Benarkah Tingginya Pendidikan tak Jamin Mudah Peroleh Pekerjaan? Berdasarkan teori human capital, pendidikan seseorang seharusnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain kemudahan seseorang mendapat sebuah pekerjaan.

Meski demikian, Profesor dari International Institute of Social Studies, The Hague University, Belanda, Ben White menjelaskan, konsep yang menyatakan bahwa dengan tingginya pendidikan seseorang pasti mempermudah orang memperoleh pekerjaan tidak selaras dengan realita sosial yang ada di Indonesia maupun negara-negara lain.

“Maki banyak pendidikan tinggi dan semakin banyak lulusan sarjana saat ini justru tidak membuat mereka dengan mudah mendapat pekerjaan,” tutur Ben White saat mengisi seminar ‘Writing a Literature Review’ yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) di Gedung Masri Singarimbun, Yogyakarta, (26/1/2020).

Ia menerangkan adanya penawaran (suplai) jauh melebihi dibandingkan permintaan, atau semakin banyak sarjana pendidikan tinggi dan makin banyak lulusan sarjana, justru membuat pekerjan tertentu itu sulit karena sudah terpenuhi.

Ia memaparkan hal ini berlaku pula pada negara Belanda maupun negara lainnya. Ben menerangkan apabila ada lulusan sarjana maka tidak dapat kemudian dia mendapatkan pekerjaan secara langsung dengan mudah.

“Contohnya, waktu saya kuliah di Inggris Tahun 1972, terdapat 5 persen lulusan SMA yang dapat melanjutkan kuliah dan langsung kerja mendapat penawaran sesuai kualifikasi, berbanding terbalik dengan saat ini”, paparnya kepada Republika online.

Namun, menurut Ben, hal tersebut dikecualikan bila seorang sarjana telah atau mengikutsertakan dirinya dalam kegiatan kerelawanan, mengikuti internship yang mampu mengembangkan kompetensi, melatih keahlian, serta memiliki pengalaman kerja.

Ben yang Guru Besar dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, ini mengungkapkan perlu adanya gebrakan baru dalam dunia pendidikan yang selaras dengan realitas sosial yang ada. “Harus ada solusi dari pemerintah yang menjamin perlindungan melalui pola pikir kritis yang dikembangkan”, tuturnya.