Teknik-Teknik Menulis Puisi oleh Hasta Indriyana (6 – 10)

teknik menulis puisi hasta indriyana

teknik menulis puisi hasta indriyanaSebelumnya kami telah mengumpulkan Teknik-teknik Menulis Puisi Hasta Indriyana dalam status-status di facebooknya yang bernomor 1-5, jika anda belum membacanya silahkan kunjungi Teknik-Teknik Menulis Puisi oleh Hasta Indriyana (1 – 5) . Nah, untuk artikel yang sedang anda baca ini adalah kelanjutannya, yakni Teknik-Teknik Menulis Puisi oleh Hasta Indriyana (6 – 10)

Teknik-Teknik Menulis Puisi oleh Hasta Indriyana (6 – 10)

Teknik Menulis Puisi (6)

Paradoks: gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta. Teknik ini banyak dipakai oleh penyair yang “berpihak”, yaitu pada kemanusiaan (menunjukkan sikap terhadap kehidupan). Sifatnya yang mempertentangkan ini bermaksud sebagai penegasan atas keadaan. Cuplikan dua bait terakhir puisi berjudul “Puisi” karya Dodong Djiwapradja berikut adalah contohnya.

puisi adalah manisan
yang terbuat dari butir-butir kepahitan

puisi adalah gedung yang megah
yang terbuat dari butir hati yang gelisah

Pilihan kata “manisan” dan “kepahitan” dijadikan satu dalam adonan “puisi”, begitu pula “megah” dan “gelisah”. Hal-hal yang kontradiktif disejajarkan untuk mencapai efek memperjelas; mengejutkan. Simak pula cuplikan “Nyanyian Angsa” karya WS. Rendra berikut. Watak manusia (suci) digambarkan penyair secara paradoksal untuk menekankan keadaan yang tak manusiawi sebagaimana seharusnya.

Jam satu siang.
Matahari masih di puncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karena kawatir akan pencuri.
Ia menuju pastori dan menekan bel pintu.
Koster keluar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
Ia nyalakan cerutu, lalu berkata:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.

Teknik Menulis Puisi (7)

Analogi (filosofi): teknik ini menganalogikan hal-hal atau peristiwa puitik dengan hal-hal atau peristiwa yang lebih mudah dipamahi. Tujuannya untuk memudahkan pemahaman. Disebut juga filosofi karena biasanya mengandung nilai-nilai filsafat. Dua cara teknik ini adalah dengan pengandaian dan mempertanyakan hakikat.

Kita diam. Siapa pun yang bersemayam
Di petilasan ini, mengingatkan betapa
Nama cukup dikenang dalam sebuah nisan
Betapa hidup membentangkan berjuta
Cara pandang tentang hidup dan kematian

Kata kunci cuplikan puisi tersebut adalah: betapa/ Nama cukup dikenang dalam sebuah nisan/. Contoh puisi lain adalah cuplikan “Sajak Seorang Tua untuk Istrinya”, karya W.S. Rendra di bawah ini.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup,
bekerja membalik tanah,
memasuki rahasia langit dan samodra

Apabila ingin menyimak lebih lanjut sajak-sajak dengan teknik ini, Anda bisa membaca karya-karya Iman Budhi Santosa. Di dalam sajak-sajaknya sarat akan teknik ini. Berikut adalah salah satu contoh sajak utuhnya, “Di Depan Jam Mati Jalan Malioboro Pagi Hari”.

Sekali lagi ia berhenti. Lelah berputar
memakan angka-angka tanpa merasa lapar.
Sekali lagi ia mengunci, detik tak berbalik
waktu tak beranjak maju

“Masihkah perlu?” ia bertanya pada tugu
ketika burung gereja menebar kotorannya
pada kaca, seperti kecewa (ingin memaki,
tapi tak bisa). “Masihkah harus aku menjaga
waktu yang terus dilanggar siapa saja?”
Sekali lagi tak ada jawaban. Kota tak mendengar
telinga penuh suara pasar
kaki lima bicara sendiri
jalanan tak ambil peduli

Dengan tatapan kosong, padaku
ia mengangguk santun, seperti mengajak
berpantun: -kota mati, jam mati
kota tua, kota kaki lima
kita bernyanyi sampai pagi
biar kiri-kanan menutup mata
jangan puisi dibuang
jika tak ada yang membaca

2002

Teknik Menulis Puisi (8)

Membandingkan secara langsung sebuah peristiwa (aktual) dengan peristiwa masa lalu (yang dikenal publik). Peristiwa pokok adalah peristiwa aktual, diletakkan di depan peristiwa acuan(seperti foregrounding). Secara sekilas, teknik ini hampir mirip dengan alusi, tapi berbeda. Saya tidak tahu nama teknik ini. Barangkali ada di antara kawan-kawan ada yang mengetahuinya? Mohon share. Sebagai contoh, berikut ini cuplikan puisi F. Rahardi berjudul “Bulan Oktober di Sebuah Desa di Timor Timur” untuk memahaminya.


di sebuah kuburan
gundukan tanah yang masih baru
sebuah salib kayu sederhana
taburan mawar dan pacar cina
ibu itu berdoa
kepalanya menunduk
tangannya mendekap dada
dibawah gundukan tanah ini
anak laki-lakinya
yang masih sangat muda
telah berdarah dan terbujur kaku
luka-luka
tapi ibu itu tak lagi menangis
tak ada yang perlu disesalkan
tak ada yang mesti diratapi
ibu itu menyeka keringat
dengan ujung selendangnya

dulu, 2000 tahun yang lalu
Maria, ibu Jesus
pasti jauh lebih berduka
pasti jauh lebih terhina
dari pada dirinya
ketika menyaksikan
anak laki satu-satunya
luka-luka
berdarah
lalu terbujur kaku
di pangkuannya

Teknik Menulis Puisi (9)

Aliterasi: termasuk gaya bahasa, yaitu perulangan konsonan yang sama. Salah satu cara teknik ini adalah dengan menggabungkan bunyi suku kata yang sama dari dua kata atau lebih dalam satu baris atau bait. Misalnya: 1) gudang-gudang gedung berwarna gading; 2) rumah merah yang murah. Di contoh pertama bunyi gd diulang empat kali dalam satu larik, sedangkan contoh kedua, bunyi rmh diulang tiga kali. Cuplikan puisi “Petir”, karya Aan M. Mansyur berikut, marilah kita simak.

Apakah kau dengar petir
Dari balik bilik
Dadaku bergetar getir?

Atau cuplikan puisi TS Pinang berjudul “Rindang” berikut.

kami mengeramas rambut kami biar subur dan rindang.
memang, kadang-kadang kepala kami gundul dan gersang,
tapi kami tetap memupuknya dengan sampo rempah dan
rimpang, agar akar rambut kami tetap kuat dan tunjang. kami
ingin rambut kami subur dan rindang, agar kepala kami teduh
dan tenang. dan seperti Sidharta yang mencapai Buddha,
begitulah kami ingin kepala kami menjadi seterang siang.

Teknik Menulis Puisi (10)

Asonansi: gaya bahasa dengan mengulang bunyi vokal yang sama. Di dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, dikenal sebagai rima (guru lagu). Letaknya tidak mesti di akhir baris sajak. Salah satu daya nikmat membaca puisi adalah dengan adanya asonansi ini (simak lirik lagu-lagu rap, mantra, puisi-puisi lama). Contohnya adalah puisi “Magetan” di bawah berikut.

Pagi berkabut
Hatiku terpaut

Pedagang sayur turun dari Lawu
Matanya masih sayu

Jalan menanjak, telaga Sarangan kutuju
Di sini aku keluar dari sarang rindu

Dari timur, cahaya matahari membentur
Dinding gunung. Aku melaju ke barat
Ke ujung

Di sana, kita ketemu di telaga puisi
Kita berenang dan menyelam
Dalam kalimat sunyi

2009

Seperti kami cantumkan dalam artikel sebelumnya  Teknik-Teknik Menulis Puisi oleh Hasta Indriyana (1 – 5) , HASTA INDRIYANA adalah seorang penyair dan penulis buku yang sudah banyak menulurkan karya. Pria yang lahir di Gunung Kidul, 31 Januari 1977 menulis buku, antara lain Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta (2003), Perempuan Tanpa Lubang (2004), Teater, Tiada Hari Tanpa Pembebasan (2005), Di Sebuah Pertemuan (2007), Rumah Cahaya (2009), Penulis Tangguh (2010), Pintar Teater (2010), dan menyusul, Piknik yang Menyenangkan.

(bersambung)