Dilema Menertibkan Siswa

pelajar smp naik motor

Dilema Menertibkan Siswa

pelajar smp naik motor
ilustrasi gambar : lensaindonesia.com

Sepeda motor sekarang tak lagi jadi simbol kemewahan. Meski harganya tergolong mahal, namun tata cara kepemilikannya sangatlah mudah. Cukup dengan uang muka minimal, motor impian sudah bisa dibawa pulang. Ini merupakan sebuah fakta yang menggembirakan meskipun di sisi lain pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan yang melibatkan sepeda motor kian meningkat dengan korban anak-anak sekolah.

Di Surabaya, pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas pelajar memasuki triwulan pertama 2013 menembus angka 7.268. Pelanggaran terbanyak adalah marka jalan, helm, kelengkapan kendaraan, dan tidak memiliki Surat Ijin Mengemudi (SIM). Artinya, setiap hari ada sekitar 80 kasus pelanggaran. Sementara 77 pelajar mengalami kecelakaan lalu lintas. Ini merupakan efek buruk dari perkembangan teknologi di bidang transportasi.

belum genap 17 tahun. Dan secara psikologis emosinya masih labil. Tidak hanya itu, mereka juga sadar dan tahu bahwa undang-undang lalu lintas maupun tata tertib sekolah melarang. Ironisnya orang tua dan masyarakat justru pura-pura tidak tahu. Buktinya, mereka mengijinkan anak-anaknya membawa sepeda motor ke sekolah. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang bilang jarak sekolah dengan rumah jauh. Ada juga yang mengatakan tidak ada yang mengantar. Ada pula yang ngomong takut terlambat.  Pada suau kesempatan saya pernah memanggil orang tua, jawabannya sungguh di luar dugaan. “Pancen kulo kengken (memang saya suruh),” katanya enteng.

Kondisi ini diperburuk dengan sikap masyarakat.  Mereka menikmatinya. Dengan mengatasnamakan membantu anak-anak mereka kemudian memfasilitasinya dengan membuka jasa penitipan sepeda motor. Anak-anak memang tidak membawa motor ke sekolah, melainkan menitipkannya ke rumah warga yang rumahnya berdekatan dengan sekolah. Secara ekonomi mereka mendapat keuntungan. Anda satu hari ada 50 motor dengan tarif Rp. 1.000,00 maka keuntungan yang didapat adalah Rp. 50.000/ hari. Duduk manis di rumah saja sudah dapat Rp. 1.500.000/bulan. Akan tetapi secara hukum orang tua dan masyarakat itu berkontribusi terhadap tingginya pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas

UU lalu lintas hanya bertaji. Hanya terlihat rapi di atas kertas. Tata tertib sekolah tidak lebih dari sekadar hiasan. Sekolah, Satpol PP, Kepolisian tak mampu berbuat apa-apa, kecuali menutup mata, pura-pura tidak tahu. Pelanggaran yang sudah menjadi kebiasaan. Orang Jawa bilang salah kaprah. Agar anak-anak sekolah tidak mati sia-sia di jalan raya, maka seyogianya mulai saat ini sekolah, masyarakat, komite sekolah, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) serta kepolisian sebaiknya duduk bersama membuat Memorandum of Understanding (MoU) untuk menyelamatkan mereka. Rutin mengadakan pertemuan antara walimurid, kepolisian, sekolah, serta pihak terkait lainnya.

Orangtua dihimbau agar tak mengijinkan anaknya membawa ranmor R-2, apapun alasannya. Kalau guru bicara, mungkin orangtua kurang yakin karena guru tak berwenang menahan pelaku pelanggaran lalu lintas. Itu tugas polisi.  Andai masih tak mempan, aparat rutin melakukan operasi sayang siswa yang melibatkan sekolah dan masyarakat. Kalau semua dipersuasi dan operasi dilakukan terus menerus, kesadaran hukum masyarakat terutama di kalangan siswa akan kian meningkat. Kecelakaan lalu lintas bisa dieliminasi dan pada gilirannya  generasi emas terhindar dari mati konyol di jalan raya.