JAKARTA – guru.or.id – Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) DKI Jakarta Nurbaiti mengkritisi persyaratan Nomor Unik Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) pada alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk guru honorer. Nurbaiti mengatakan, persyaratan tersebut terlalu memberatkan.
Guru honorer di sekolah negeri, kata dia, rata-rata mendapatkan SK dari kepala sekolah yang tidak cukup kuat di kementerian. Karena, apabila SK dari kepala sekolah saja, guru honorer bisa kapan saja dipecat.
“Jika SK kepala daerah kan statusnya harus PNS, sementara guru honorer mana ada yang dapat SK itu. Maka, saya bilang pemerintah niat mensejahterakan guru honorer, namun dikasih persyaratan yang berat. Kan ngasihnya setengah-setengah,” kata dia, dihubungi Republika.co.id, Ahad (16/2/2020).
Ia menegaskan, untuk mendapatkan NUPTK guru honorer di sekolah negeri lebih sulit dibandingkan di swasta. “Jikalau negeri, dia harus punya SK kepala daerah. Guru honorer atau tenaga pendidikan kan diangkatnya oleh kepala sekolah, maka SK-nya tidak berlaku untuk mendapatkan NUPTK,” kata dia.
Pada hasil diskusi forum guru honorer, Nurbaiti mengatakan, mereka keberatan dengan adanya persyaratan tersebut. Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus memperhitungkan kembali persyaratan ini.
Nurbaiti menambahkan, forum honorer juga memiliki beberapa usulan terkait dengan alokasi dana BOS untuk guru honorer. Jika Kemendikbud ingin mengedepankan keadilan, maka mestinya gaji diberikan berdasarkan tahun mengabdi para tenaga honorer tersebut.
Guru honorer yang mengabdi 0-5 tahun diberikan alokasi sebesar 10 %. Sementara itu, untuk guru honorer yang mengabdi 5-10 tahun diberikan 15 persen. Kemudian, guru honorer yang sudah mengabdi di atas 10 tahun seperti K1 dan K2 bisa mendapatkan 25 persen dari alokasi dana BOS tersebut.
Menurutnya, peraturan lama mengabdi ini cukup adil bagi para guru honorer di sekolah-sekolah. “Untuk kawan-kawan ini kan sudah lama mengabdi, sudah bekerja, teman-teman sudah mengajar. Kita tidak menutup mata baik yang masa kerjanya lama dengan yang baru,” kata Nurbaiti .
Jika diterapkan sistem seperti itu, maka persyaratan NUPTK tidak lagi harus dipenuhi. Nurbaiti tidak mengelak bahwa semua guru wajib terdata di data pokok pendidikan (dapodik). Tapi, pemerintah juga harus memperhatikan guru yang mengajar di daerah-daerah terpencil.
Karena, sering kali terjadi masalah teknis di daerah-daerah terpencil. “Contoh di Papua, di Kendari, memang akses internetnya itu sangat sulit mereka jangkau, sehingga keterlambatan pengiriman data itu sering terjadi,” kata Nurbaiti .
Organisasi guru lain, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim mengungkapkan dirinya mengadakan survey di dalam IGI terkait dengan persyaratan NUPTK. Hasil dari surveynya, masih banyak guru-guru yang tidak ber-NUPTK.
Ia mencontohkan di salah satu SD di Kediri. Masih ada tiga guru yang belum memiliki NUPTK. Sementara di salah satu SD di Sidenreng Rappang, masih ada empat guru yang tidak memiliki NUPTK. Bahkan, ada pula sekolah yang 15 orang gurunya tidak ber-NUPTK.
“Di banyak sekolah, jumlah rombel lebih sedikit dari jumlah guru PNS ditambah guru ber-NUPTK. Artinya, pasti akan banyak guru tak ber-NUPTK yang nantinya dibayarkan atas nama-nama guru ber-NUPTK,” kata Ramli.