Persatuan Guru Republik Indonesia atau disingkat PGRI berpendapat Ujian Nasional (UN) seperti kehilangan orientasinya usai tidak menjadi penentu kelulusan. Mohammad Abduhzen, Dewan Pembina PGRI juga menilai terjadi disfungsi dalam UN belakangan ini.
Mohammad Abduhzen menjelaskan, pemerintah sempat menyatakan bahwan tujuan dilaksanakannya UN adalah untuk mengetahui pencapaian siswa. Kemudian siswa yang belum mencapai skor tertentu boleh memperbaiki nilainya. “Ini berarti ada proses remidial,” kata Dosen Universitas Paramadina ini kepada wartawan, Ahad (3/4).
Melihat kondisi seperti ini, Abduhzen menuturkan, evaluasi atau UN yang dilakukan belakangan ini seharusnya dilakukan oleh guru atau sekolah. Hal itu jika dipandang berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Menurunya, evaluasi yang dilakukan dengan konsep tersebut masuknya dalam rangka proses pembelajaran. Dengan kata lain, dia melanjutkan, bukan pengendalian mutu.
Pada dasanya, dia menambahkan, tujuan evaluasi menentukan model atau jenis tes. Karena itu, ia menegaskan, perlu kejelasan ihwal hal ini. “Misalnya, jika dalam kerangka pengendalian mutu atau pemetaan seperti dimaksud UU Sisdiknas, apakah perlu dilakukan setiap tahun?” kata Abduhzen.
Dia memiliki pendapat, Bahwa konsep UN harus dikembalikan fungsinya seperti UU, yakni pengendalian mutu. Hal demikian ini berarti tidak perlu dilakukan tiap tahun. Evaluasi yang seperti ini bisa saja dilakukan empat tahun sekali.
Abduhzan juga memandang positif adanya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Sebab hal ini sangat positif selama guru, sekolah siswa dan daerah memenuhi sarana dan prasarana teknisnya. Tetapi selama substansi dan orientasinya tidak jelas, efektifitas program UN untuk peningkatan mutu tidak bisa signifikan. “Meski dengan UNBK,” kata dia. (sumber republika)