STOP KRIMINALISASI GURU
Mendung tebal menyelimuti dunia pendidikan kita. Noktah hitam pun kembali berserak di sana. Belum kering luka akibat karut marut unas, kini air mata tumpah di Mojokerto, Jawa Timur dan Majalengka, Jawa Barat. Dua guru SD di sana terpaksa harus digelandang ke pengadilan karena divonis bersalah oleh majelis hakim setempat.
Tragis benar nasib Sutiyo. Gara-gara menjatuhkan punishment kepada siswanya Teguh Muji Wicaksono, Guru Matematika di SDN Sumberjati, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto itu dimejahijaukan. Ia divonis bersalah oleh majelis hakim pengadilan negeri (PN) Mojokerto. Ketua Majelis hakim Halim Sutarto menyimpulkan terdakwa terbukti melanggar pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Kasus itu berawal ketika Sutiyo menjewer Teguh Muji Wicaksono yang telah menyembunyikan sepatu temannya, Fahri. Meskipun berdalih mendidik dan mendisiplinkan siswa, namun wali murid tetap tidak terima. Akibatnya, Sutiyo dipolisikan. Selama proses hukum berlangsung guru Matematika klas VI itu sempat mencicipi tahanan kejaksaan setempat 20 hari sebelum PN Mojokerto memberi status tahanan kota selama 52 hari.
Hal serupa dialami Aop Saopudin. Guru honorer di SDN V Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka itu diseret ke pengadilan hanya gara-gara menyukur rambut salah satu siswanya. Di persidangan, dia terbukti melanggar pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan. Akibatnya, vonis tiga bulan penjara dengan masa percobaan enam bulan dijatuhkan hakim.
Lebih tragis lagi, ketika guru menghadapi persoalan hukum tidak ada satupun organisasi profesi guru yang melakukan pendampingan. Apalagi memberikan advokasi hukum. Padahal, ketika awal berdiri, organisasi tersebut bersuara lantang akan memperjuangkan hak-hak guru. Namun ketika ada dugaan indikasi kriminalisasi guru, kok malah tiarap.
Fakta di atas harus dijadikan pelajaran agar ke depan guru bisa lebih berhati-hati dalam memberikan reward dan punishment. Kasus di atas memang patut disayangkan. Reward dan punishment adalah hal yang lumrah terjadi di alam pendidikan. Dilema memang. Kalau guru tidak diberikan sanksi kepada siswa yang melakukan pelanggaran dibilang melakukan pembiaran. Tapi sanksi malah dipolisikan.
Apa yang dilakukan ke dua guru di atas adalah menjatuhkan sebuah hukuman atas pelanggaran yang dilakukan siswanya. Ini bagian dari wujud kasih sayang guru. Kalau tidak sayang, mungkin hal itu tidak akan dilakukan. Mereka akan memilih bersikap masa bodoh. Hukuman badan seyogianya dihindari sejauh mungkin. Akan tetapi, kalau siswa itu berulangkali melakukan pelanggaran, hukuman badan perlu dipertimbangkan. Kalaupun terpaksa harus dilakukan maka dilakukan pada bagian tubuh yang tidak membahayakan. Saya kira semua guru sudah paham hal ini.
Untuk membangkitkan motivasi, guru biasanya memberikan reward. Hadiah tidak harus diartikan dengan materi. Bisa juga dengan bahasa tubuh. Dalam paedagogik, bahasa tubuh merupakan salah satu katalisator dalam proses belajar mengajar. Misalnya, ada guru yang menepuk pundak siswa untuk mengapresiasi hasil kerja anak. Tapi ketika itu dilakukan justru guru dilaporkan ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual.
Kasus guru Sutiyo dan Aop Saopudin seharusnya tidak perlu terjadi. Di samping karena ketidakmampuan para pihak menahan emosinya, menyembulnya kasus ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap pelanggaran kode etik dengan tindakan kejahatan. Melalui tulisan ini dengan segala hormat saya berharap pihak kepolisian lebih mengedepankan hak diskresi. Dengan menggunakan hak tersebut perkara “ringan” seperti yang dialami dua guru tersebut tidak sampai ke pengadilan. Sebab hak diskresi memungkinkan diambil langkah mediasi dengan menghadirkan kedua belah pihak dengan polisi sebagai penasehat.
Harus dibedakan antara mendidik dengan perbuatan tindak kejahatan. Juga harus dibedakan antara pelanggaran kode etik guru dengan perbuatan tindak pidana. Semua stakeholders sekolah harus paham hal ini. Tujuannya agar dapat memilah dan memilih persoalan yang harus diproses. Artinya, apabila masyarakat mengetahui adanya dugaan tindak kejahatan,– menyelewengkan dana BOS dan narkoba, misalnya–, masyarakat bisa langsung melaporkannya ke polisi agar segera ditindaklanjuti pihak aparat.
Ketika ada pelanggaran terkait dengan kode etik seyogianya yang bersangkutan dilaporkan ke atasannya langsung. Kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan yang akan mem-follow-up-i. Apabila masih tidak puas, maka pihak korban bisa mengadu ke Badan Kehormatan Guru (BKG). Agar kejadian di atas tidak terjadi lagi maka wacana berdirinya BKG perlu lebih didorong agar segera terwujud sehingga bisa segera dioptimalkan. Tugas BKG adalah memeriksa, menyelidiki, sekaligus memberikan sanksi kepada guru yang melanggar kode etik.
Dengan peran BKG, semua stakeholders tidak bisa langsung melaporkan pendidik yang melanggar kode etik guru. Guru yang melanggar kode etik, terlebih dahulu diperiksa BKG. Apabila pelanggaran itu tidak ada unsur pidana, maka masalah cukup diputus BKG. BKG yang akan memberikan sanksi kepada guru yang melanggar kode etik. Apabila ini dilakukan niscaya indikasi adanya dugaan kriminalisasi guru tidak akan menyembul ke permukaan.
Kasus tersebut jelas membuat kondisi psikologis kedua guru itu terpuruk. Oleh karena itu semua pihak harus memberikan dorongan moril untuk mengembalikan semangat mengajarnya. Kita berikan nutrisi agar tetap bisa membawa obor penerang dalam gulita. Kita berikan ruang-ruang agar tetap bisa berkarya memberikan yang terbaik untuk anak bangsa.
One thought on “STOP KRIMINALISASI GURU”
Comments are closed.