Buat Teh dari Kulit Salah, Mahasiswa UAD Raih Penghargaan

teh kulit salak

YOGYAKARTA — 5 mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD) D.I Yogyakarta berhasil mengalahkan 170 tim peneliti dari sebelas negara di dunia di ajang The 3rd International Young Inventaris Awards di Surabaya, Jawa Timur pekan lalu. Mereka Buat Teh dari Kulit Salah, Mahasiswa UAD Raih Penghargaan.

Para mahasiswa itu berhasil meraih meraih emas atas penelitian mereka berupa teh dari kulit salak untuk penderita diabetes. Dari Kelima mahasiswa PGSD FKIP UAD ini yakni Iis Ani Safitri, Anita Zulaihah, Aisha Nurra’ida Fathin, Ratri Indriyani dan SriHerwati.

Mereka berhasil menyingkirkan tim peneliti dari Korea, Malaysia, Srilangka, Singapura, Siria, Mesir, Rusia, Kroasia, Jordania dan Thailand.

“Ini kebahagiaan dan kebanggan tersendiri bagi kami, dari awalnya hanya coba-coba ternyata membuahkan prestasi yang membanggakan,” ungkap Iis Ani Safitri saat ditemui di Kampus FKIP UAD, Jumat (16/9).

Menurut Iis, sebelumnya penelitian yang dilakukannya berlima tersebut menjadi juara I program kreativitas mahasiswa (PKM) tingkat UAD 2015 silam. Setelah hal itu, pihaknya menyempurnakan penelitiannya dan diikutkan dalam lomba penelitian internasional di Surabaya tersebut dan tanpa mereka duga mendapatkan medali emas.

Saat ini penelitian berupa teh herbal dari kulit salak itu dipersiapkan untuk mengikuti lomba penelitian di Taiwan, Desember mendatang. “Kami juga tengah mempersiapkan izin produksi dan izin hak kekayaan intelektualnya,” ujarnya menjelaskan.

Diakui Iis, penelitian kulit salak untuk teh bagi penderita diabetes ini berawal dari keprihatinan mereka berlima melihat banyaknya kulit salak di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman yang hanya dibuang begitu saja. Limbah kulit salak ini tidak dimanfaatkan petani hanya ditumpuk begitu saja di samping rumah.

Kecamatan Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sentra penghasil salak madu dan salak pondoh. Selain dijual dalam bentuk buah, banyak petani yang mengolah daging salak menjadi dodol, manisan, kripik maupun menu kuliner masakan salak. Biji salak juga banyak dimanfaatkan untuk kerajinan.

“Namun kulit salaknya belum dimanfaatkan dan hanya menumpuk saja sebagai sampah organik,” jelas Iis. Melihat hal itu, dia dan keempat rekannya melakukan studi literasi tentang kandungan gizi dari kulit salak. Ternyata dari beberapa sumber literasi, kulit salak mengandung zat yang bisa menurunkan kadar gula dalam darah.

Zat tersebut berupa ferulicacid and prolipin, cinnamic acid, arginine danpeterostilbine. “Dari studi literasi ini kita berfikir keras, bagaimana kulit salak kita olah agar mudah dikonsumsi terutama oleh para penderita diabetes,” katanya menjelaskan.

Dari hasil diskusi berlima akhirnya mereka sepakat mengolah kulit salak tersebut menjadi teh herbal yang siap seduh. Melalui beberapa kali uji coba akhirnya mereka berhasil membuat takaran yang pas untuk produk teh herbal dari kulit salak tersebut.

Teh ini dikemas siap saji seperti kemasan teh pabrikan pada umumnya. Mengambil brand Telisa (Teh Kulit Salak), kelima mahasiswa ini siap melakukan produksi teh rumahan bagi penderita diabetes.

Pesanan mulai mengalir pada produk kelima mahasiswa tersebut. “Kendala kita hanya waktu karena kita masih kuliah dan yang jelas modal,” kata mahasiswi semester tujuh ini menjelaskan.

ementara itu menurut Aisha Nurra’ida Fathin, proses pembuatan teh herbal dari kulit salak ini cukup sederhana. Selain murni kulit salak, pihaknya juga mencampurnya dengan daging buah salak.

Ini dilakukan untuk memberikan aroma salak dan rasa manis gurih alami pada teh tersebut. Perbandingan kulit salak dengan buahnya sendiri adalah 2:1. “Cukup bagus hasilnya itu salak madu tetapi salak pondoh juga bisa diolah menjadi teh,” ujarnya menerangkan.

Kulit salak yang diolah menjadi teh juga dipilih yang masih segar. Kulit salak yang masih segar dibersihkan durinya. Kulit salak ini kemudian dicuci sampai bersih dan bersama daging salak dengan perbandingan tersebut dipotong kecil-kecil lalu disangrai dengan api kecil.

Proses sangrai memakan waktu cukup lama antara 1,5 hinggta 2 jam fungsinya untuk mengurangi kadar airnya. Setelah disangrai hingga kering, kulit salak ini kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama satu jam.

Pasca dijemur, kulit salak digiling hingga lembut dan dijemur lagi hingga kering. “Setelah dijemur kita lakukan penggilingan kedua dan kita saring kita ambil yang cukup lembut dan kita kemas dalam kemasan teh celup,” ujarnya.

Satu kemasan teh celup bisa untuk satu cangkir air. Karena ada campuran daging salak maka rasanya sudah sedikit manis, tetapi bagi yang menginginkan lebih manis bisa menambahkan gula khusus penderita diabetes. “Kita masih terus kembangkan penelitian ini,dan juga menyempurnakan packing tehnya,” kata Aisha.

Hal senada diungkapkan Anita Zulaihah. Selain ini memproduksi massal agar bisa menyerap tenaga kerja, pihaknya juga ingin menularkan produksi tersebut ke petani salak di Sleman sehingga bisa memberikan nilai tambah bagi para petani salak di Kabupaten Sleman DIY.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/16/09/16/odldub301-ubah-kulit-salak-jadi-teh-mahasiswa-uad-raih-penghargaan-internasional-part2