Ada yang membedakan hasil kerja seorang mukmin dengan non-mukmin. Jelas sekali hal itu disebutkan dalam Al Quran.
“Dan amal-amal orang-orang kafir adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati apa-apa….” (An-Nur: 39)
Dalam ayat lain dikatakan, amalan orang kafir ibarat abu yang dengan mudah diterbangkan angin. Tanpa sisa.
“Permisalan amalan-amalan orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Maka sebetulnya seorang mukmin memiliki nilai lebih yang patut untuk menjadi pelecut agar giat dalam bekerja. Mengoptimalkan segala kemampuan yang ada demi mencapai hasil kerja yang maksimal. Rasulullah dan para sahabat bisa menjadi cermin bagaimana mereka bekerja keras mencukupi kebutuhan hidup. Mereka tidak menyandarkan pada pemberian orang lain maupun dari baitul maal untuk menghidupi keluarganya. Kita justru diajarkan untuk berbagi, membelanjakan sebagian rizki yang dititipkan kepada kita di jalan Allah. Dengan bersedekah.
Bahkan Rasul pernah mencium tangan seorang sahabat, telapak tangannya terasa kasar karena bekerja di ladang. Bayangkan seorang Rasul yang mulia bersedia mencium tangan sahabatnya. Lalu siapakah pemilik telapak tangan kasar yang beruntung itu?
Ialah Sa’ad bin Muadz al Anshari. Tatkala itu Rasulullah berjumpa Sa’ad bin Muadz dan bersalaman beliau merasakan telapak tangan Sa’ad yang kasar. Rasulullah bertanya apa sebabnya, Sa’ad menjawab “Saya membajak tanah untuk keluarga ya Rasulullah”. Mendengar jawaban itu Rasulullah mencium tangan Sa’ad bin Muadz dan berkata “Tangan ini tak akan disentuh api neraka”.
Sa’ad bin Muadz al Anshari, begitu ia dikenal. Lengkapnya, Sa’ad bin Muadz bin an-Nu’man bin Imri’ al-Qais al-Asyhali al-Anshari radhiyallahu’anhu. Namanya terkadang tak dimuat dalam buku kumpulan kisah para sahabat. Ia memang tak setenar Abdurrahman bin ‘Auf saudagar yang dermawan. Juga tak setenar Salman Al Farisi peracik strategi khandaq dari Persia. Tetapi namanya layak dicatat dan diingat sebagai teladan bagi siapapun. Ialah pemilik tangan kasar yang dicium Rasulullah.
Sa’ad masuk dalam rengkuhan kemuliaan Islam sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah melalui Ibnu Umair (Mush’ab bin Umair). Keislamannya kian menambah kekuatan kaum muslimin, karena Sa’ad merupakan salah satu pembesar Suku Aus. Bahkan dalam sebuah syair dituliskan:
Jika dua Sa’ad masuk Islam maka Muhammad di Mekah
tidak takut terhadap perbuatan orang yang menyelisihi.
(dua Sa’ad yang dimaksud yakni Sa’ad bin Ubâdah, pembesar suku Khazraj dan Sa’ad bin Muadz pembesar suku Aus).
Perjalanan hidup Sa’ad menyajikan episode-episode mengesankan yang layak diteladani. Baik ketika belum masuk Islam maupun sesudah masuk Islam. Ketika Mush’ab bin Umair datang ke Madinah sebagai duta yang menyebarkan agama Islam, Sa’ad tidak menyukai hal itu. Ia memerintahkan salah seorang sahabatnya, Usaid bin Hudhair untuk menghentikan dakwah Mush’ab.
Tetapi yang terjadi Usaid justru tertarik dan masuk Islam. Usaid kemudian menemui Sa’ad dan mengajaknya bertemu dengan Mush’ab. Dibuatlah satu perjanjian, Mush’ab akan menyampaikan ajaran Islam kepada Sa’ad, jika Sa’ad tidak menerimanya maka Mush’ab akan menghentikan dakwahnya. Mush’ab kemudian menjelaskan Islam kepadanya dan membacakan Al Quran dari permulaan surat Az-Zukhruf.
Mendengar penjelasan Mush’ab, Sa’ad mendapat hidayah dari Allah, kemudian mensucikan diri dan mengucapkan syahadat. Tidak cukup sampai di situ. Ia lantas menemui kaumnya seraya menyeru,
“Semua dari kalian, baik laki-laki maupun wanita, dilarang berbicara denganku sebelum kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan belum sampai petang hari, semua kaum Aus telah menjadi muslim dan muslimah.
Episode yang tidak kalah pentingnya ialah ketika Sa’ad menjadi tameng hidup bagi Rasulullah dalam perang Uhud. Saat pasukan Islam kocar-kacir karena tergoda harta rampasan perang. Kemudian Sa’ad juga berjasa dalam perang Badar. Dengan tegas ia bersama kaumnya dari kalangan Anshar memberi dukungan penuh kepada kaum Muslimin. Pada perang Khandaq, Sa’ad dan kaumnya bersama kaum muslimin dengan gigih mempertahankan Madinah dari serbuan kaum Quraisy Makkah. Pada perang ini selain mendapat serangan dari kaum Quraisy kaum muslimin juga dikhianati oleh kaum Yahudi Bani Quraidzah yang sebelumnya telah mengikat perjanjian untuk tidak saling menyerang.
Dalam usaha mempertahankan Madinah ini, Sa’ad terkena lemparan anak panah Hibban bin Qais Al-Araqah hingga menyisakan luka. Selama sakit, Rasulullah memerintahkan agar Sa’ad dirawat didekat beliau sehingga lebih mudah memantau kondisi Sa’ad. Setelah kekalahan kaum Quraisy dalam perang Khandaq, pasukan muslim kemudian mengepung Bani Quraidzah yang telah berkhianat. Butuh kurang lebih 25 hari untuk memaksa Bani Quraidzah menyerah.
Sa’ad disepakati untuk memutuskan hukuman atas orang-orang yang berkhianat itu. Dengan tegas Sa’ad memberikan keputusan, semua lelaki dewasa dihukum mati, anak-anak dan wanita menjadi tawanan perang. Tentang keputusan Sa’ad ini Rasulullah menegaskan, “Sesungguhnya engkau telah menghukumi dengan apa yang ada di atas langit.”
Usai perang Khandaq, kondisi Sa’ad kian memburuk. Luka-luka yang dialami membuat kesehatannya terganggu. Beberapa kali ia dijenguk Rasulullah, sampai akhirnya Sa’ad menemui kesyahidannya. Mendengar kabar kematian Sa’ad Rasulullah bersabda, “Sungguh kematian Sa’ad telah membuat ‘Arsy Allah terguncang.”
Itulah kisah kehidupan Sa’ad bin Muadz, yang tangannya pernah dicium Rasulullah. Menunjukkan betapa Islam sangat menghargai orang yang bekerja keras. Dalam sabda Rasulullah yang lain juga disebutkan. Kelelahan badan orang yang bekerja dianggap sebagai tebusan untuk menggugurkan dosa-dosa.
“Barang siapa yg merasa lelah di sore hari karena mencari rizki dgn tangannya, maka akan diampuni dosa dosanya.” (HR Tabrani)