Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terima 213 pengaduan terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia. beberapa keluhan pembelajaran daring datang dari anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.
“terdapat sopir ojek online (ojol) yang memiliki tiga anak, dengan dua di jenjang, SD dan jenjang SMA. Mereka merasa kewalahan dalam membeli kuota internet. Sedangkan penghasilan sebagai ojol menurun drastis,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti melalui keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin (13/4/2020).
Lalu, seorang guru di Yogyakarta juga menceritakan bahwa pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah. Kemudian sudah tidak bisa lagi karena orang tua peserta didik tidak sanggup lagi membeli kuota internet.
Disamping itu, banyak di antara siswa yang tidak memiliki laptop atau komputer. Sebagian siswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi merasa kesulitan dengan persiapan ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020 ini.
“Ada anak sopir ojol yang mengaku gantian menggunakan handphone dengan ayahnya. Kalau siang dipakai bekerja, jadi malamnya baru bisa digunakan si anak untuk mengerjakan tugas dari gurunya. Masalah sinyal juga menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit. “Akibatnya ada siswa yang setiap hari harus berjalan 10 KM untuk mendapatkan signal dan wifi,” jelasnya.
Adanya pembelajaran daring atau jarak jauh sudah berlangsung tiga pekan. Disamping kuota internet, pengaduan terbanyak, yakni penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi.
Disamping itu, dari 213 pengaduan tersebut, KPAI juga menemukan masih adanya aktivitas siswa dan guru di sekolah. Padahal proses belajar mengajar seharusnya dilakukan dari rumah.
Masalah lainnya adalah adanya penolakan untuk membayar biaya SPP bulanan secara penuh karena siswa belajar dari rumah bersama orang tua.