MERANCANG SEKOLAH BERBUDAYA LINGKUNGAN
Alam diciptakan untuk manusia. Selain tanahya yang subur, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. Ibarat sebuah negeri percikan surga, apapun yang ditanam tumbuh subur. “Tongkat dan kayu jadi tanaman,” kata Koes Plus. “Gemah ripah lohjinawe, tata tentrem kertaraharjo” begitu kata orang, menggambarkan negeri ini yang bergelimang kekayaan alam.
Hasil alam dipergunakan sebesar-besarya bagi kemakmuran manusia, sehingga ketergantungan terhadap alam sangat besar. Grafik kebutuhan akan Sumber Daya Alam (SDA) kian menunjukkan peningkatan. Ironisnya, upaya pemenuhannya kerap dilakukan secara eksploitatif. Pembalakan liar (illegal logging), misalnya. Akibatnya, kuantitas dan kualitas SDA menurun. Keseimbangan alam tak terjaga, alampun menebarkan ancaman.
Saez Ortega dalam artikelnya Ecologia, Diccionario de Pensamiento Contemporaneo (Madrid: San Pablo, 1997) mengatakan, akar dari sebuah bencana adalah karena manusia mengabaikan logos, tetapi justru mengagungkan nomos. Seharusnya, logos yang dimaknai sebagai prinsip atau nilai mendapat prioritas utama, karena dalam logos yang diutainakan adalah makna yang melekat pada setiap pribadi manusia.
Alam tidak bisa dieksploitasi begitu saja. Mereka seperti manusia. Akan bersahabat manakala kita bersikap ramah. Sebaliknya, berpotensi menebar ancaman, ketika kita tidak mampu menjaganya. Hanya karena ingin mendulang profit, lantas seenaknya menggunduli sejumlah hutan, disulap menjadi kawasan hunian, villa, bungalow, bahkan hotel.
Tidak hanya itu, sejumlah areal persawahan juga disulap menjadi real estate tanpa dibarengi dengan membuka areal penanaman baru. Percikan masalah ekonomi menyembul menyisakan krisis pangan (beras). Kita yang dikenal sebagai bangsa berswasembada pangan, kini menjadi Negara pengimpor beras. Beras sebagai makanan pokok menjadi barang yang mahal dan langka. Untuk mendapatkan beras harus rela merogoh kocek lumayan besar dan antri hingga berjam-jam. Gending “murah sandang pangan, seger kuwarasan” yang dulu kerap menggema, kini tak lagi terdengar dari corong RRI maupun Radio Informasi Pertanian
Undang-undang Lingkungan Hidup dilanggar. Analisis mengenai dampak lingkungan diabaikan. Banjir bandang, tanah longsor di sejumlah daerah, termasuk banjir yang menerjang Ibu Kota Jakarta serta wilayah lain di Indonesia, belum lama berselang adalah sebagian contoh bencana akibat dari buah peminggiran logos.
Adiwiyata dan Pendidikan LingkunganHidup (pLH)
Secara etimologis, Adiwiyata berasa, dari bahasa Sansekerta “Adi” dan “Wiyata”. Adi artinya agung, sempurna, ideal, sedangkan Wiyata artinya tempat. Adiwiyata didefnisikan sebagai tempat yang ideal untuk memperoleh segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta beragam estetika yang dapat mengantarkan manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup.
Program tersebut dilaksanakan karena Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) merupakan salah satu altematif solusi dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kuantitas dan lemahnya kinerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan hidup yang ada, kurang memberikan kontribusi yang signifikan, sehingga PLH masih belum memberikan pengaruh positif terhadap perubahan kesadaran dan perilaku masyarakat dalam melakukan tindakan yang menguntungkan atau berpihak kepada lingkungan hidup.
Adiwiyata merupakan salah satu program Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang dicanangkan mulai tahun 2006. Program tersebut bertujuan membentuk dan mendorong sekolah-sekolah agar turut berperan serta melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi mendatang. Sebagai langkah awal, program ini hanya dilaksanakan di wilayah pulau Jawa. Dan selanjutnya akan dikembangkan ke seluruh pelosok wilayah Indonesia.
Sebagi tindak lanjut, Rach mat Witoelar mengarahkan bidikannya ke sekolah-sekolah. Kementrian Negara Lingkungan Hidup yang dipimpinnya, bersinergi dengan Departemen Pendidikan Nasional, yang kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan No. Kep.07/MENLH/0612005, No.05/VII. KB/2005. Petinggi Kementrian Lingkungan Hidup dan Petinggi Depdiknas sepakat melakukan kerjasama dalam Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup.
Sekolah berpotensi menjadi tempat membangun kesadaran terhadap upaya pelestarian fungsi lingkungan. Ia memiliki tanggung jawab sosial yang besar membentuk pribadi-pribadi yang selalu berpihak kepada lingkungan. Semakin banyak sekolah peduli dan berbudaya lingkungan berarti, ke depan, semakin banyak pula anak-anak bangsa yang memiliki tanggung jawab menjaga pelestarian lingkungan.
Model sekolah adiwiyata tidak hanya sekedar green school, tapi yang terpenting adalah bagaimana merubah perilaku warga sekolah. Misalnya, yang biasa membuang sampah sembarangan dan membiarkannya teronggok di mana-mana, berubah gemar memilah-milah dan mendaur ulang sampah tersebut. Yang biasa membiarkan lahan sekolah terhampar ditumbuhi semak-semak, menjadi tertarik menanami lahan. tersebut dengan tanaman produksi, tanaman hias, maupun apotik hidup. Yang biasanya boros dalam mengkonsumsi SDA dan energi, mulai melakukan efisiensi melalui penghematan sumber dana.
Sekolah dengan program Adiwiyata diharapkan menciptakan situasi pembelajaran yang serasa menyatu dengan Alam. Kecuali itu melalui program tersebut, sekolah berpotensi melahirkan kultur researched oriented of student. Sebuah kultur yang berorientasi memanfaatkan alam sebagai sumber belajar, obyek penelitian, serta memaknainya dari berbagai sudut pandang. Budaya ini diharapkan membangun kerangka. berfikir anak dari berbagai macarn dimensi melalui proses penelitian Alam.
Mengembangkan kurikulum berbasis lingkungan, menjadi salah satu aspek penting dalam mendorong terwujudnya sekolah model adiwiyata. Mekanismenya, dengan mengintegrasikan materi lingkungan hidup secara lintas mata pelajaran dan atau menjadi mata pelajaran muatan lokal yang berdiri sendiri. Kurikulurn Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan secara desentralistik berpotensi mengadaptasi PLH menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.
Oleh karena itu, wajar bila saat ini tersembul diskursus baru, PLH bakal menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri di setiap satuan pendidikan. Di satu sisi, ada kesan memaksakan, di sana. Sebab, Kurikulum yang ada saat ini sudah cukup padat. Dan menyiksa. Sehingga banyak siswa yang harus mengorbankan waktu yang seharusnya tersisa untuk aktivitas pribadi yang bisa meningkatkan kreativitasnya. Akibatnya jamak ditemukan siswa yang mendadak menjadi pemurung, sedih, stres, karena didera banyak tugas rumah dan kegiatan sekolah yang lain. Bila kurikulum yang ada masih harus ditambah dengan pelajaran lain seperti PLH, misalnya, sungguh kurang manusiawi dan cenderung mencederai psikologi anak. Bahkan, patut dianggap merampas hak anak dalam menikmati keceriaan diusia belianya.
Namun, di sisi lain, upaya mengadaptasi PLH ke dalam kurikulum merupakan hal yang mendesak dilaksanakan, sebab upaya tersebut mempunyai scenario besar secara nasional, yakni menyelamatkan generasi mendatang. Ada banyak keuntungan bagi sekolah-sekolah yang mengikuti program adiwiyata. Pertama, meningkatkan efisiensi pelaksanaan kegiatan operasional dan penggunaan berbagai sumber daya. Kedua, menciptakan kondisi. Kebersamaan yang akomodatif bagi warga sekolah sehingga tercipta suasana belajar yang nyaman dan kondusif. Ketiga, Sekolah menjadi tempat belajar tentang nilai-nilai Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baik dan benar, sehingga mampu menghindari berbagai resiko dampak negatif lingkungan dimasa mendatang. Keempat, menghemat sumber dana melalui pengurangan konsumsi berbagai sumber daya dan energi.
Terlepas dari semua itu, yang jelas realita yang mengemuka saat ini adalah kecenderungan semakin merosotnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Oleh karenanya, upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman membangun kesadaran terhadap fungsi lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Menyelematkan generasi mendatang dari dampak negatif lingkungan menjadi sebuah kewajiban generasi sekarang. Solusi cerdas dan bijak menjadi sebuah langkah yang harus segera diambil. Terlalu mahal, bila harus membayar setiap kesalahan dan kecerobohan terhadap lingkungan dengan sebuah bencana alam atau krisis pangan. Iya khan?