MENGEMBANGKAN ORGANISASI SEKOLAH MENUJU SEKOLAH EFEKTIF DI ERA OTONOMI DAERAH
Untuk meningkatkan daya saing sekolah dalam menghadapi globlalissi dunia, sekolah harus dikelola secara efektif. Era otonomi memberikan peluang besar untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya masing-masing. Mutu pendidikan di daerah tidak bisa lepas dari pengelolaan sekolah yang efektif di masing-masing satuan pendidikan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus memberikan keleluasaan yang besar kepada setiap sekolah agar mampu mengembangkan sumber daya yang dimiliki.
Salah satunya dengan memberikan otonomi sekolah atau yang akrab disebut School Based Management. Dengan otonomi yang diberikan, pengelola sekolah akan lebih leluasa mengelola sumber daya yang dimiliki, sehingga sekolah efektif yang diharapkan oleh masyarakat dapat segera diwujutkan.
Saat ini tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu pendidikan semakin tak terbendung. Pasalnya, keunggulan sebuah bangsa tidak lagi dipandang dari kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), tetapi dilihat dari keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki, yakni tenaga terampil yang mampu mengantisipasi dan menyesuaikan diri terhadap dinamika kehidupan global atau internasional. Ini merupakan salah satu dampak globlalisasi.
Sekolah memiliki tanggungjawab yang besar menyiapkan tenaga terampil dan terdidik yang memiliki daya saing. Terkait dengan hal tersebut, wajar apabila manajemen organisasi sekolah yang baik akan menciptakan proses pendidikan yang bermutu. Proses yang bermutu akan menghasilkan uot put yang berkualitas.
Di era otonomi, peluang untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu sangat terbuka lebar. Hal itu tergambar dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah. Pada Bab III pembagian urusan pemerintahan, Pasal 14 ayat (1) menegaskan, bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota antara lain pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan. Artinya, peran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan semakin berkurang. Pendekatan-pendekatan yang selama ini cenderung formalistik dan topdown menjadi terpingkirkan. Sebaliknya bupati/walikota memiliki otorits penuh dalam menentukan kualitas pendidikan di daerahnya masing-masing. Mutu pendidikan tergantung pada goodwill Pemkab/Pemkot dalam merumuskan visi dan misi di wilayahnya masing-masing.
Namun secara empiris masih jamak dijumpai organisasi sekolah yang di-manage tanpa memerhatikan efektivitas sekolah. Hal ini tampak dari berkembangnya anggapan masyarakat yang selalu mengaitkan prestasi sekolah dengan nilai Ujian Nasional (UN). Sekolah dianggap berprestasi manakala dalam UN seluruh siswanya lulus seratus persen. Anggapan ini sebenarnya tidak salah, asalkan untuk mencapai itu dilakukan dengan benar dalam proses pembelajaran. Sebaliknya sekolah dianggap tidak bermutu apabila ada sebagian siswanya tercecer dalam UN. Akibatnya, segala daya dan upaya dikerahkan agar siswanya “sukses”. Prestasi akademik diagung-agungkan, sementara moral dan aspek afektif lainnya terabaikan. Ini adalah sebuah wujud sekolah yang tidak efektif.
Pengelola sekolah yang baik adalah yang mampu membangun sekolah efektif. Keberhasilan membangun sekolah efektif adalah sebuah prestasi membanggakan yang akan memberikan kontribusi signifikan terhadap mutu pendidikan nasional. Kualitas pendidikan nasional tergantung pada keberhasilan pendidikan di masing-masing daerah.
Mengembangkan organisasi
Mengembangkan dipahami sebagai sebuah usaha untuk menuju keadaan yang lebih baik dan ideal. Sementara organisasi adalah kumpulan sekelompok orang yang bekerja sarna untuk mencapai tujuan. Pada umumnya pengembangan organisasi bertujuan untuk mengubah cara-cara anggota organisasi dalam melaksanakan kegiatan agar terjadi perbaikan dalam kinerjanya.
Menurut Beach (1980) pengembangan organisasi dimaksudkan untuk: (1) meningkatkan keterbukaan komunikasi antar anggota, (2) meningkatkan derajat tanggungjawab anggota dalam merencanakan dan mengimplementasikan kegiatan, (3) mendorong dilakukannya pengambilan keputusan oleh anggota yang memiliki informasi dan pengetahuan tentang kegiatan yang akan dilakukan, (4) menciptakan upaya kolaborasi ketimbang kompetisi secara destruktif, (5) menganalisis struktur organisasi untuk memastikan apakah itu memudahkan atau malah menyulitkan pekerjaan, dan (6) memecahkan masalah secara terbuka setiap konflik yang terjadi agar tidak semakin memburuk.
Untuk melakukan pengembangan, menurut Beach ada lima proses: (1) diagnosa, (2) pemilihan dan desain intervensi, (3) implementasi intervensi, (4) evaluasi, dan (5) penyesuaian dan pemeliharaan sistem.
Sekolah Efektif
Sekolah kerap diidentikkan dengan wiyata mandala, tempat belajar yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengalaman pembelajaran yang bermutu bagi peserta didiknya. Efektif yang dimaksud dalarn tulisan ini adalah tepat guna dan sasaran.
Sekolah efektif dapat diartikan sebagai sekolah yang menunjukkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam menyelenggarakan proses belajarnya, dengan menunjukkan hasil belajar yang bermutu pada peserta didik sesuai dengan tugas pokoknya. Pada sekolah efektif semua potensi yang dimiliki peserta didik dijamin berkembang secara optimal.
Pengertian lain tentang sekolah efektif yakni menunjukkan pada kemampuan sekolah dalam menjalankan fungsinya secara maksimal, baik fungsi ekonomis, sosial, politis, budaya maupun pendidikan. Fungsi ekonomis sekolah memberi bekal kepada peserta didik agar dapat melakukan aktivitas ekonomi yang bermuara pada kehidupan yang sejahtera. Sekolah sebagai media adaptasi peserta didik dengan kehidupan masyarakat merupakan fungsi sosial. Sementara fungsi politisnya, sebagai wahana untuk memperoleh pengetahuan teritang hak dan kewajiban sebagai warga negara. Sekolah memiliki fungsi budaya apabila dijadikan media transformasi budaya. Adapun fungsi pendidikan, sekolah merupakan wahana proses pendewasaan dan pembentukan kepribadian peserta didik.
Menurut Peter Mortimore (1996), ciri-ciri sekolah efektif: (1) memiliki visi dan misi, (2) lingkungan sekolah kondusif (3) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat, (4) reward bagi semua warga sekolah yang berprestasi, (5) pendelegasian wewenang jelas, (6) ada dukungan masyarakat sekitar, (7) program sekolah terencana dengan jelas, (8) fokus terhadap sistem yang ada, (9) peserta didik diberi tanggung jawab, (10) pembelajaran inovatif kreatif dan menyenangkan, (11) evaluasi berkesinambungan, (12) kurikulum sekolah terintegrasi, dan (13) melibatkan orangtua dan masyarakat.
Selanjutnya pada sekolah efektif terdapat proses belajar yang efektif pula. Cirinya: (1) tidakpasif, melainkan aktif, (2) tidak kasab mata, (3) tidak sederhana alias rumit, (4) perbedaan individual di antara para peserta didik sangat berpengaruh, dan (5) kontekstual.
Otonomi
Maksud otonomi dalam tulisan ini adalah otonomi sekolah atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Otonomi Oaerah (Otoda). Substansi MBS meliputi otonomi sekolah, fleksibilitas, dan partisipasi untuk meningkatkan mutu sekolah. Otonomi kerap diartikan sebagai kewenangan atau kemandirian dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Tolak ukurnya adalah kemandirian pendanaan. Sebab, hal ini penting agar keberlanjutan sekolah tetap terjaga.
Fleksibilitas diartikan sebagai keluwesan yang diberikan sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah sehingga akan lebih responsif terhadap segala tantangan tanpa harus tercerabut dari regulasi yang ada.
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratis. Semua warga sekolah beserta segenap stakeholders ambil bagian secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pelaporan. Dengan demikian terbentuk sense of belongingyang tinggi.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, memberikan keleluasaan bagi setiap daerah kabupaten/kotamadya umuk mengatur pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan di daerahnya masing-masing. Desetralisasi pendidikan tersebut berdampak pada berkurangnya peran pemerintah pusat dalam hal pengawasan dan penyelenggaraan pendidikan. Pada Bab III, pembagian urusan pemerintahan, pasal 14 ayat (1) jelas ditegaskan, bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan. oleh daerah kabupaten kota antara lain pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan.
Mengacu pada undang-undang tersebut, setiap daerah diberi ororitas penuh untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya masing-masing. Ini memang menjadi tantatgan tersendiri. Daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) besar dan menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama, akan leluasa meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. Sebaliknya, sikap pesimistis akan dimnjukkan daerah yang memiliki PAD rendah. Karena daerah tersebut merasa kurang leluasa menyelenggarakan pendidikan karena hanya mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU).
Mewujudkan Sekolah Efektif
Di era globalisasi, sekolah efektif adalah sebuah keniscayaan. Sebab, kedepan, salah satu yang paling ditakuti banyak orang adalah apabila anaknya bodoh. Setiap orang rela dan sanggup mengeluarkan berapa pun biaya yang diperlukan asal anaknya pintar. Hal ini cukup beralasan karena persaingan di tingkat regional, nasional, maupun global sudah tidak bisa dihindari. Hanya anak-anak pintar dan terampil yang mampu berkompetisi. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki skill niscaya akan menjadi korban derasnya arus globalisasi.
Masyarakat saat ini memiliki kecenderungan memilih sekolah efektif bagi pendidikan anaknya. Meskipun biayanya tinggi, sekolah-sekolah yang dapat memberikan ruang bagi pengembangan potensi anak selalu menjadi pilihan. Biasanya sekolah seperti itu dipadati pendaftar pada saat Penerimaan Siswa Baru /PSB7. Bahkan, PSB ditutup sebelum waktunya, karena pagunya sudah terpenuhi.
Sekolah efektif, dapat dilihat dari sudut pandang mutu pendidikan, sudut pandang manajemendan sudut pandang teoriorganisasi.
Sekolah efektif dari sudut pndang mutu pendidikan
Masyarakat kerap mengaitkan perolehan nilai UN sebagai parameter keberhasilan peserta didik maupun satuan pendidikan. Peserta didik dikatakan berhasil apabila mereka berhasil menorehkan angka di atas standar yang ditetapkan. Satuan pendidikan /baca sekolah7 dianggap bermutu tinggi manakala seluruh peserta didiknya lulus UN, tidak ada satu pun yang tercecer disana.
Sudut pandang di atas tidak seluruhnya benar. Tetapi, demikianlah faktanya. Anehnya lagi, masyarakat justru menikmati itu. Padahal, masih banyak indikator-indikator lain yang menjadi tolak ukur mutu pendidikan. Misalnya, indikator nilai, sikap (afektif7, dan keterampilan (psikomotor7.
lndikator afektif dan atau kecerdasan emosi seperti kemampuan menahan diri, memiliki stabilitas emosi, selalu memahami orang lain, tidak mudah putus asa, pantang menyerah, sabar, memiliki kesadaran diri, motivasi yang berlipat, kreativitas yang dinamis, memiliki empati, toleran merupakan karakteristik yang jauh lebih penting dimiliki peserta didik ketimbang sekedar pencapaian nilai UN itu sendiri.
Sekolah efektif dari sudut pandang manajemen
Manajement dipahami sebagai rangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan pengendalian pekerjaan. Secara substansial jelas yang di-“manage” adalah seluruh unsure termasuk keuangan, sistem, prosedur, dan metodenya serta informasi yang berkaitan. Prinsip-prinsipnya, menurut Koontz (1972) adalah Beksibilitas, tidak mutlak, dan harus dapat dijalankan tanpa memerhatikan perubahan dan keadaan tertentu.
Manajemen sekolah merupakan proses pemanfaatan seluruh sumber daya sekolah yang dilakukan melalui tindakan yang rasional, dan sistematik (mencakup per’encanaan, pengorganisasian, pengerahan tindakan, dan pengendalian) untuk mencapai tujuan sekolah secara efektifdan efisien. Tindakan-tindakan manajemen tersebut bersumber pada kebijakan dan peraturan-peraturan yang menjadi konsen-sus bersama dimanifestasikan dalam bentuk sikap, nilai, dan perilaku dari seluruh yang terlibat di dalamnya dan terjadidalam satu keutuhan kompleksitas sistem.
Sekolah dikatakan memiliki manajemen yang baik apabila: (1) layanan belajar yang diberikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik, (2) pengelolaan dan layanan peserta didik pas dengan Standar Pelayanan Minimal, (3) sarana dan prasarana represtatif, (4) program sekolah realistis dengan konteks sosiologis serta kemampuan ekonomi masyarakat, (5) partisipasi masyarakat cukup tinggi, dan (6) budaya sekolah yang memungkinkan berkembangnya potensi yang dimiliki peserta didik.
Sekolah efektif dari sudut pandang teori organisme
Dunia merupakan suatu energi yang memiliki kekuatan berubah menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Bentuk kehidupan apa pun hanya akan mampu bertahan apabila organisme itu mampu memberikan respon yang tepat umuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Apabila teori ini diaplikasikan di sekolah, maka sekolah harus lebih dinamis dalam menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Setiap satuan pendidikan selayaknya melakukan terobosan-terobosan, serta inovasi agar memiliki cukup daya saing. Sekolah harus senantiasa mempertahankan eksistensinya dan tetap berorientasi pada tujuan. Apabila ini dilakukan, tidak menutup kemungkinan apa yang disebut sebagai “self-renewing schools”, atau “adaptif schools”, atau kerap diistilahkan dengan “learning organization” dapat terwujud, yakni suatu kondisi di mana institusi sekolah sebagai satu entitas mampu mengurai setiap problem yang dihadapi serta menunjukkan kemampuan berinovasi.
Dari Otonomi Daerah ke Otonomi Sekolah
Otonomi sekolah lebih popular disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). lni merupakan terjemahan dari School Based Management. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa pendidikan di daerah akan berkualitas apabila penyelenggaraan pendidikan di sekolah juga bermutu tinggi. Untuk meningkatkan kualitas pada level satuan pendidikan, otonomi sekolah merupakan harga mati. Memberikan keleluasaan, keluwesan kepada sekolah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.
Dengan otonomi, sekolah dapat leluasa dan lentur dalam hal: (1) mengelola proses belajar mengajar, (2) mengelola kurikulum, (3) perencanaan, evaluasi, dan supervisi, (4) pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan fasilitas, (6) pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) peran serta masyarakat, dan (9) pengelolaan budaya sekolah.
Sekolah memang selayaknya diberi otonomi yang lebih luas dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Alasannya:
a) sekolah mengetahui keuntungan, kerugian, serta peluang yang dimiliki, sehingga dapat dengan tepat memutuskan apa yang terbaik bagi sekolahnya;
b) sekolah memiliki keahlian memutuskan hal terbaik bagi sekolah dan peserta didiknya;
c) untuk meningkatkan demokrasi dan stabilitas politik;
d) dapat dijadikan sarana menggali dana dari orang tua dan masyarakat. Bila mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tentu mereka akan lebih termotivasi berkomitmen meningkatkan partisipasi dalam hal pendanaan.;
e) peningkatkan prestasi peserta didik. Apabila seluruh warga sekolah, utamanya kepala sekolah dan guru dilibatkan dalam pengambilan kebijakan untuk sekolahnya maka iklim sekolah akan mendukung usaha peningkatan prestasi;
f) pelaporan dapat meningkatkan perhatian sekolah pada usaha-usaha perbaikan; dan
g) untuk mencapai sekolah efektif, pilar-pilar sekolah efektif sangat dipengaruhi dan dicapai melalui MBS.
Pemberian otonomi sekolah harus sepenuh hati. Sebab, hal ini akan mempercepat terwujudnya sekolah efektif yang didambakan masyarakat. Sebaliknya, apabila otonomi diberikan setengah hati, artinya masih ada intervensi-intervensi dari pihak lain, sekolah efektif hanya akan menjadi sebuah wacana belaka. Semoga tidak.
Daftar Pustaka
Puskur.2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakrta: Balitbang Depdiknas
Soetrisno dan Brisma Renaldi. 2003. Manajemen Perkantoran Modern. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara
. 2001. Undang-undang Otonomi Daerah 1999. Bandung : Citra Umbara
. 2007. Panduan Teknis Peningkatan Kompetensi Profesi Kepala Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Direktorat Tenaga Kependidikan
. 2007. Perubahan dan Pengembangan Organisasi Sekolah Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Departemen Jendral Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Direktorat Tenaga Kependidikan
. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah / Madrasah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
http://www.lomboktimurkab.go.id
http://media.diknas.go.id