JAKARTA — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim berencana mengubah isi buku pelajaran bagi pelajar. Pengubahan ini bertujuan untuk memperbaiki kemampuan membaca para siswa di Indonesia.
“Guna meningkatkan literasi harus mengubah paradigma, buku-buku yang digunakan di sekolah selama ini hanya fokus ke buku-buku paket pembelajaran dan kurikulum, tapi yang lebih penting lagi bagaimana agar mereka mencintai membaca,” kata Nadiem, Jumat (3/4/2020).
Nadiem Makarim menyampaikan hal tersebut melalui video conference setelah mengikuti rapat terbatas dengan tema Strategi Peningkatan Peringkat Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi menyatakan skor kemampuan membaca para siswa di Indonesia lebih rendah dibanding kemampuan matematika dan sains berdasarkan penilaian dari PISA.
Nilai Skor kemampuan membaca siswa Indonesia adalah 371 dan berada di posisi 74, kemampuan matematika skornya 379 di posisi 73 dan kemampuan sains di dengan skor 396 di posisi 71. “Sehingga konten-konten harus fokus pada hal yang menyenangkan untuk siswa. Jadi, Perubahan terpenting, kalau anak mencintai membaca, mereka akan tertarik karena konten menarik. Mula dari situ proses literasi akan terjadi,” ungkap Nadiem.
Nadiem mengatakan selama ini pelajaran Bahasa Indonesia juga terbagi menjadi tiga fokus, yaitu literasi, gramatika dan kosa kata, ke depannya ia ingin agar benar-benar fokus ke literasi.
“Bagaimana konten pelajaran Bahasa Indonesia menggunakan buku-buku yang menyenangkan, menarik, relevan untuk jenjang masing-masing siswa kita. Sehingga, bagaimana bisa cinta membaca, mencintai bacaan, persuasif secara verbal dan persuasif dengan menulis itu yang akan mendorong angka literasi kita naik dan tentu bukan hanya dari buku, tapi juga ‘channel’ belajar ‘online’,” kata Nadiem Makarim.
Maka, terkait penilaian kompetensi pembelajaran dari masing-masing daerah juga akan diubah. Perubahan ini khususnya mengenai ujian yang menggantikan Ujian Nasional (UN).
“Akan ada beberapa perbedaan dengan UN. Pertama ‘assesment’ di masing-masing sekolah dan tidak semua siswa akan diuji, tapi ‘sampling’ dari setiap sekolah di tingkat SD, SMP, SMA dengan standar yang sama di semua daerah,” tutur Nadiem.
Tapi, lanjutnya, meski ujian tersebut merata di setiap daerah, yang membedakan adalah perlakukan setelah proses “assesment” tersebut.
“Seperti UN tidak ada perbedaan dari tesnya, yang berbeda adalah setelah ‘assesment’, penanganan masing-masing daerah tergantung di level kompetensinya. Sehingga ada segmentasi, ada daerah yang lebih banyak bantuan, misalnya karena kami di Kemendikbud menjunjung tinggi keberagaman, meski ‘assesment’ standar, tapi setelah ‘assesment’ yang berbeda sesuai kebutuhan masing-masing daerah,” jelas Nadiem.
Disamping perubahan jenis ujian akhir dan perlakuan setelah ujian akhir tersebut, Nadiem juga akan melakukan penyederhanaan kurikulum di semua jenjang. Kurikulum nantinya diharapkan lebih mudah dipahami guru dan siswa.
“Beban konten pelajaran harus turun, sehingga di masing-masing konten bisa mendalami kompetensinya, tapi apakah jumlah muatan pelajaran dikecilkan atau konten dikecilkan itu masih dikaji oleh tim,” katanya.
Team Kemendikbud, menurut Nadiem, masih mendiskusikan dan mempertimbangkan masukan dari berbagai organisasi terkait penyederhanaan kurikulum tersebut.
“Jadi belum bisa jawab apakah mata pelajaran dikurangi atau konten dikurangi, tapi beban siswa yang banyak sehingga tidak bisa mendalami apapun akan kita buat sederhana dan dibuat lebih fleksibel,” paparnya.
PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia.
Untuk Indonesia mulai sepenuhnya berpartisipasi sejak tahun 2001. Pada setiap siklus, terdapat 1 domain major sebagai fokus studi. PISA tidak hanya memberikan informasi tentang benchmark Internasional, tetapi juga informasi mengenai kelemahan serta kekuatan siswa beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.