Kita bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung) karena diajari guru. Kita tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, tidak lain karena diasuh dan dibimbing guru. Kita bisa berkreasi, berinovasi, serta berwirausaha, guru jualah yang memiliki andil besar. Kita bisa mendapat pekerjaan dan hidup layak, ya tetap guru yang mengantarkannya. Tanpa guru, kita tidak bisa seperti sekarang ini.
Guru memiliki peran yang amat strategis. Keberhasilan proses dan hasil pendidikan tidak bisa dipisahkan dari fungsi, peran, dan kedudukan guru. Kehadiran guru senantiasa ditunggu oleh siswa siswinya. Mereka haus akan ilmu yang diajarkan guru. Anak-anak selalu menantikan sentuhan tangan dingin para pendidik. Karena itu, ruang-ruang sebagai tempat para guru berkarya, berkreasi, dan berinovasi harus senantiasa diciptakan
Sejak otonomi daerah, pendidikan dilaksanakan dan dikembangkan melalui pendekatan desentralistik. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah. Pada bab III, yakni Pembagian urusan Pemerintahan, pasal 14 ayat (1) menjelaskan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota adalah pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan.
Implementasi desentralisasi pendidikan ternyata menyembulkan sejumlah persoalan. Salah satu masalah yang mengapung ke permukaan dan sekarang menjadi isu nasional adalah persoalan deprofesionalisasi dan politisasi guru. Menurut Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Slamet seperti dikutip kompas.com, otonomi daerah telah menyebabkan terjadinya deprofesionalisasi dan politisasi pendidik dan tenaga kependidikan. “Terjadinya deprofesionalisasi dan politisasi pendidik dan tenaga kependidikan disebabkan karena terlalu kuatnya peran gubernur, bupati/walikota dalam memilih pejabat dinas pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota,” katanya
Hal di atas sudah menjadi sebuah fenomena universal. Politik lokal yang terjadi hampir di sejumlah daerah sudah berada di ambang batas mengkhawatirkan. Otonomi daerah yang seharusnya mendorong terciptanya iklim pendidikan yang terbuka dan dinamis, justru malah sebaliknya. Anomali-anomali dalam pelaksanaan pendidikan di daerah semakin kentara. Guru-guru yang ‘berjudi’ untuk meraih sebuah jabatan semakin kasat mata.
Guru dan tenaga kependidikan yang lain memang berpotensi untuk dipolitisasi. Hal ini disebabkan karena meningkatnya kesadaran politik dan semakin meluasnya kesempatan untuk turut serta dalam kehidupan berpolitik. Tidak hanya itu, jumlah guru dan tenaga kependidikan yang cukup banyak juga berpeluang dijadikan komoditas politik.
Para politisi dan atau calon kepala daerah yang akan bertarung kemudian membidik guru untuk dijadikan mesin pendulang suara. Meskipun para pendidik itu tidak secara resmi menjadi anggota partai politik, tetapi faktanya mereka terlibat langsung dalam aksi dukung-mendukung. Diantara mereka all out menggalang massa. Bahkan dikabarkan ada yang sampai berani mengeluarkan kocek dari kantongnya sendiri untuk membeli suara. Celakanya untuk kepentingan tersebut para guru terpaksa meninggalkan tugas utamanya di sekolah.
Akibatnya, banyak guru yang menjadi korban dan atau diuntungkan karena faktor politik. Bagi mereka yang jagonya keok langsung masuk kotak. Karirnya seperti tenggelam di dasar laut. Akan tetapi, banyak juga yang ”diuntungkan” karena jagonya unggul. Karir mereka melesat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Ditengarai kepala sekolah dan pejabat struktural dinas pendidikan yang saat ini menjabat adalah mereka yang sebelumnya getol mendukung kepala daerah terpilih. Atas “jasanya” tersebut kemudian mereka diberi “hadiah” berupa jabatan. Rekruitmen memang tetap melalui fit and proper test, akan tetapi hasil seleksi itu sudah dapat ditebak. Jadi, siapa yang bakal lolos sudah bisa diduga sebelum seleksi digelar.
Di era otonomi, pintar dan cerdas saja tidak cukup. Pintar dan cerdas kalau tidak didukung finansial dan koneksitas, jangan berharap karir meningkat. Sebaliknya, meskipun kemampuannya pas-pasan, tapi pada saat pilkada kelihatan ikut cawe-cawe, dan juga nurut, nggak neko-neko, jabatan di depan mata.
Bagi guru yang netral, yang benar-benar menjaga idealisme dan komitmen profesinalismenya berpotensi mengalami erosi motivasi. Kalau tidak sabar bisa-bisa putus asa. Betapa tidak, mereka sebenarnya kapabel, mau dan sudah bekerja keras tapi tidak ada reward sama sekali. Karirnya stagnan, jalan di tempat. Padahal jenjang kepangkatan dan karir PNS itu sudah diatur.
Celakanya, organisasi profesi guru (OPP) yang saat ini tumbuh bak jamur di musim hujan tak ada bisa berbuat banyak. OPP yang ada tak mampu mengerem deprofesionalisasi dan politisasi guru. Mereka hanya garang di media tapi lemah di lapangan. Kalau di media merka lantang bicara memperjuangkan hak-hak guru. Akan tetapi di lapangan justru tidak sedikit yang “menyusukan” organisasinya itu kepada penguasa. Mereka latah, bahkan kerap melakukan burguining dengan penguasa untuk kepentingannya sendiri
Hal tersebut akan memporakporandakan dunia pendidikan dan bahkan mencederai profesionalisme guru yang saat ini tengah kita bangun bersama. Presiden SBY pun sudah menciumnya. Setidaknya ini tergambar dalam pernyataannya pada puncak periangatan hari guru 2011 lalu. Kala itu Bapak Presiden melontarkan ihwal pengelolaan guru, sontak para guru serentak menjawab,”dikelola pusat saja”. Artinya, re-sentralisasi guru menjadi hal yang sangat urgen dan mendesak untuk direalisasikan. Tujuannya, menjauhkan guru dari intervensi politik di daerah.
Agar deprofesionalisasi tidak menjadi epidemi, syaratnya ya harus re-sentralisasi. Re-sentralisasi diharapkan dapat menyadarkan kembali para guru yang saat ini tengah larut dalam hiruk pikuk politik. Guru seharusnya sadar dan paham akan profesinya. Sebagai pendidik yang profesional, guru sudah mendapat gaji dan tunjangan yang cukup memadai. Karena itu tidak pantas mereka turut serta dalam aksi dukung mendukung saat pemilu/kada. Jangan rakus! Biarlah karir itu berjalan seperti air mengalir. Jangan membiasakan meraih karir dengan cara memanfaatkan fasilitas dan kekuasaan orang lain. Tidak ada yang dibanggakan dan itu merupakan sebuah cermin mentalitas yang buruk.
Para guru seharusnya juga paham bahwa tanpa berpolitik pun posisi tawar mereka tetap tinggi. Sebab, salah satu yang paling ditakuti orang tua saat ini adalah apabila anaknya bodoh. Agar anaknya pandai, orang tua pasti akan mencari guru meskipun beaya yang dikeluarkan cukup besar. Apabila semua guru sadar dan paham akan hal ini, niscaya tidak akan ada deprofesionalisasi dan guru tidak mudah dipolitisasi. Semoga!