
Ujian Nasional (UN) sudah di depan mata. Jika tidak ada perubahan, ritual tahunan itu akan digelar pada bulan April. Untuk jenjang SMA/SMK/MA digelar 15-18 April, SMP/MTs 22-25 April dan SD/MI 6-8 Mei. Mata pelajaran yang diujikan sama persis dengan UN tahun lalu. Namun, paket soal sekarang 20, tahun kemarin hanya 5.
Pelaksanaan UN tahun ini merupakan hasil penyempurnaan UN tahun sebelumnya. Ujian akhir yang bersifat Nasional kali pertama digelar sekitar tahun 1950-an, dikenal dengan istilah ujian penghabisan. Ternyata, hasilnya tidak merepresentasi kompetensi siswa selama belajar di sekolah.
Oleh karena itu, tahun 1971 dilakukan perubahan. Pelaksanaan ujian diserahkan kepada sekolah masing-masing. Setelah berjalan beberapa tahun kemudian dikukuhkan dalam kurikulum 1975. Semua sekolah mengapresiasi dan menyambutnya dengan penuh sukacita.
Ternyata, sekolah memanfaatkan kebebasan untuk berlomba-lomba meluluskan semua siswanya. Akibatnya, hasil ujian akhir tidak bisa menjadi daya pembeda. Karena cara pengukuran dan alat ukurnya berbeda, maka nilai yang didapat dari satu sekolah tidak bisa dibandingkan dengan nilai yang didapat sekolah lain. Siswa sekolah pinggiran tidak bisa masuk ke sekolah yang kualitasnya bagus meskipun nilai ujian akhirnya sama. Kesimpulannya, hasil ujian akhir tetap saja tidak menunjukkan kemampuan siswa yang sebenarnya.
Fakta tersebut mendorong pemerintah menyempurnakan kurikulum 1975, termasuk pada sistem ujiannya. Evaluasi dilakukan secara berkelanjutan, namun tetap diberikan otonomi. Ada tes formatif dan tes sumatif. Khusus tes sumatif semester 6 dinamakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA). Implementasinya, semua kabupaten/kota diberi kewenangan merakit soal dan menghelat ujian akhir, serta menerbitkan ijazah bagi lulusannya.
Akibatnya, ada sekolah yang memudahkan kelulusan, ada juga sekolah yang galak terhadap kelulusan. Karena acuan norma yang digunakan adalah distribusi normal, maka siswa yang pandai bisa jadi tidak lulus setelah nilainya dikonversi ke distribusi normal. Akibatnya, kesenjangan mutu pendidikan semakin menganga. Gelombang protes pun tak dapat dihindari
Selanjutnya, EBTA tetap dilaksanakan tapi menggunakan acuan nasional. Sehingga muncul istilah EBTANAS. Kelululusan siswa ditentukan oleh nilai P (hasil tes semester 5), Q (hasil tes semester 6), dan R (hasil EBTANAS). Formulasinya (P + Q+ nR)/( 2+n ). Hasilnya , tetap saja. Harapan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak pernah tercapai. Bahkan jamak dijumpai sekolah menentukan nilai n pasca diperoleh hasil EBTANAS.
Sejak tahun 2001, EBTANAS diubah menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). 10 mata pelajaran diujikan dengan komposisi, 3 mata pelajaran soal dirakit pusat penilaian pendidikan, sementara 7 mata pelajaran lainnya disusun daerah. Sebagian besar sekolah mengapresiasi dengan memfokuskan pada 3 mata pelajaran yang di-UAN-kan, sementara 7 mata pelajaran lainnya cenderung diabaikan. Kelulusan siswa ditentukan oleh hasil UAN. Evaluasi ini dianggap tidak adil, karena hasil belajar siswa selama 3 tahun tidak diperhitungkan sama sekali. Nasib siswa ditentukan selama 3 hari pada saat UAN.
Kemudian, mulai tahun 2005 sampai sekarang UAN diubah menjadi Ujian Nasional (UN). Penyelenggaraannya didelegasikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Pelaksanaan UN bisa dibilang memenuhi asas validitas, reliabilitas, serta berkeadilan. Hasil UN tidak lagi menjadi satu-satunya penentu kelulusan. Menurut pasal 63 ayat (1) PP tersebut, penilaian hasil belajar dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, serta pemerintah. Kelulusan siswa ditentukan 60 persen hasil UN dan 40 persen nilai rapor
Meski telah berulang kali dilakukan penyempurnaan, UN tetap saja dianggap momok yang sangat menakutkan. Kehadirannya membuat semua pihak mulai dari siswa, walimurid, guru, kepala sekolah, bahkan pemerintah daerah gundah gulana. Semua menginginkan siswanya lulus seratus persen. Itu bagus, sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang jujur dan obyektif. Tapi dalam banyak kasus, sekolah yang menginginkan siswanya lulus semua, diduga tidak jujur alias melakukan kecurangan dalam pelaksanaan UN.
Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang terpaksa melakukan kecurangan karena tidak tega melihat siswanya tercecer di UN. Ada juga yang berargumentasi bahwa baik buruknya kinerja sekolah ditentukan oleh prosentase kelulusan. Ada pula yang mengaku karena mendapat tekanan dari atasan.
Untuk menghindari hal-hal negatif di atas, kini saatnya kita mengubah paradigma serta cara pandang terhadap keberhasilan pendidikan. Selama ini kita menganggap keberhasilan pendidikan dari nilai ujian. Siswa yang nilai UN tinggi berarti pandai secara akademik, bisa jadi iya, tapi ia belum tentu cerdas dalam hal mengendalikan emosi. Dia bukan penyabar dan tidak bisa menahan diri. Bahkan dia adalah anak yang gampang putus asa, mudah menyerah, tidak memiliki empati, kurang toleransinya rendah, kurang kreatif.
Anak yang nilai UN rendah bukan berarti bodoh. Secara akademik, mungkin. Akan tetapi dia ternyata anak yang penyabar, penuh toleransi, tidak mudah putus asa, suka berempati, bisa menahan diri, tidak gampang menyerah, kreatif. Indikator ini jauh lebih penting ketimbang sekedar deretan angka-angka yang tertera pada Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) maupun Sura Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN).
Fakta membuktikan bahwa orang-orang yang sukses tidak didominasi mereka yang nilai UN-nya tinggi. Namun sebaliknya, banyak orang berhasil karena mereka memang sabar, tidak mudah putus asa, kreatif, mampu mengendalikan emosi, suka berempati, ulet dan tidak gampang menyerah. Artinya, tidak lulus bukan berarti kiamat.
Dari sini apakah kita akan meniadakan UN, apakah jika UN ditiadakan akan bagus?