Pandemi Virus Corona atau Covid-19 yang melanda dunia saat ini menyadarkan banyak orang tentang pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan teruse menggelorakan PHBS atau Pola Hidup Besih da Sehat. Satu di antaranya dengan mencuci tangan dengan sabun.
Bagi umat Muslim, menjaga kebersihan diri menjadi bagin dalam keseharian. Setidaknya lima kali dalam sehari mereka melakukan wudhu sebelum shalat. Dengan membasuh area-area badan yang paling sering bersentuhan dengan debu dan kotoran. Jika dijalankan dengan benar hal tersebut sudah menjadi bagian upaya menjaga kebersihan diri.
Mencuci Tangan Dengan Sabun
Mencuci tangan dengan menggunakan sabun dipercaya mampu menurunkan berbagai resiko penyakit yang ditularkan virus dan bakteri. Seperti penyakit yang menyerang saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Meski demikian, mencuci tangan dengan air yang mengalir juga dipercaya mampu menurunkan penularan berbagai penyakit secara signifikan.
Begitu pentingnya manfaat mencuci tangan ini, hingga dikenal Hari Cuci Tangan Pakai Sabun (HCTPS) yang diperingati tanggan 15 Oktober setiap tahun. Mencuci tangan dengan sabun diyakini mampu memutus mata rantai penularan penyakit. Tindakan sanitasi ini bermanfaat menghilangkan kuman sehingga pathogen tidak berpindah dari satu orang ke orang lain. Termasuk di antaranya virus corona.
Siapakah Penemu Sabun?
Sabun atau benda sejenis sabun sudah dikenal sejak zaman Mesir Kuno dengan menggunakan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya mirip sabun zaman sekarang yakni minyak hewani dan nabati dicampur garam alkali, untuk penyembuhan penyakit kulit dan membersihkan badan.
Orang-orang Romawi juga menggunakan minyak hewan dan tumbuhan untuk membuat sabun. Tetapi baru pada abat kedua, menurut Galen, sabun digunakan untuk membersihkan badan. Di China, bahan sejenis sabun juga sudah dikenal di dalam masyarakat.
Tetapi sabun modern dengan kandungan bahan-bahan seperti yang banyak digunakan sekarang pertama kali diracik oleh sarjana kimia Muslim Ar Razi. Ia merupakan ilmuwan yang berasal dari Persia (Iran). Di Negara-negara barat namanya sering disebut sebagai Rhazes.
Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi, ia lahir pada tahun 854 Masehi dan meninggal 15 Oktober 925 (sebagian pendapat menyebut ia wafat pada 9 Oktober 925). Sejak kecil Ar Razi sebetulnya tertarik dengan dunia musik dan ingin mernjadi musisi. Tetapi cita-cita itu berubah saat ia mengenal dunia alkemi yakni cabang pengetahuan yang mempelajari transmutasi unsur.
Tetapi ia berhenti mempelajari ilmu ini setelah menjalani berbagai eksperimen yang membuat matanya cacat. Ia lalu mempelajari ilmu kedokteran. Ia belajar kepada Ali Ibnu Sahal At Tabari seorang dokter sekaligus filsuf pada masa Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim.
Setelah pulang ke kampung halaman Ar Razi dikenal sebagi dokter yang mumpuni sehingg dipercaya sebagai kepala rumah sakit di Rayy pada masa pemerintahan Mansur Ibnu Ishaq. Ia lalu pindah ke Bagdad dan menjadi kepada rumah sakit di sana pada masa kekuasaan Al Mukafi.
Ar Razi memutuskan kembali ke kampong kelahiraannya di Rayy setelah wafatnya Al Mukafi. Di sana ia mengajarkan ilmu kedokteran dan memiliki banyak murid sehingga diberia gelar Syaikh.
Buku penting yang ia tulis berjudul Al-Judari wal-Hasbah (Cacar dan Campak) merupakan buku pertama yang mengungkapkan perbedaan antara wabah cacar dan campak.
Menurut Ahmad Y al Hassan dalam buku Technology Transfer in Chemical Industries, menjelaskan sabun yang kita kenal sekarang merupakan warisan dari Ar Razi yang berhasil membuat formula dasar. Kemudian muncul pabrik-pabrik di Nablus (Palestina), Kufah dan Basrah (Irak)
Bahan dasar sabun dibuat dari produk nabati seperti zaitun dan mintak aroma. Formula ini tidak pernah berubah hingga kini, hanya saja sekarang lebih banyak menggunakan bahan kimia sintetis.
Pada masa awal, umat Islam sudah menggunakan sabun dengan pewarna dan pewangi dan sudah diolah menjadi sabun cair dan batangan. Diperkirakan harga pada masa itu, pada tahun 981 Maehi sekitar tiga dirham (perak) atau setara 0,3 dinar (emas).
Ilmuwan yang Mengenalkan Terjadinya Fenomena Wabah
Dalam Al Judari wal Hasbah, Ar Razi membuat definisi tentang cacar dan cara pencegahannya yakni dengan menghindari kontak dengan penyakit ini, menurutnya wabah cacar bisa menjadi epidemi.
Pernyataan tersebut diakui dalam Ensiklopedia Britanika (1911) sebagai pernyataan pertama yang paling akurang dan dapat dipercaya tetntang wabah. Dalam bukunya Ar Razi pun mengulas perbedaan antara Cacar dengan Campak, diterangkan berdasarkan pengamatan klinis yang ia lakukan, sehingga jauh dari pengaruh kepercayaan-kepercayaan supranatural yang banyak beredar di masyarakat.
Selain Al Judari wal Hasbah, buku lainnya yang berhasil ditulis berjudul at-Tibb al-Mansur yang khusus ia hadiahkan Mansur ibnu Ishaq, pemimpin Dinasti Samania.
Itulah sosok Ar Razi, seorang dokter, filsuf dan ilmuwan muslim yang multi talenta. Mengenalkan komposisi sabun modern dan berhasil memberi penjelasan terang tentang wabah. Selama menjadi dokter, Ar Razi dikenal dengan kebaikan budi pekertinya dan tidak membebani pasien dengan biaya yang memberatkan. [e]