Indonesia pernah memiliki seorang Menteri Luar Negeri yang hidup ‘nomaden’ alias tempat tinggalnya tidak menetap. Dia adalah Haji Agus Salim, yang oleh Anies Baswedan dalam Agus Salim : Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakkan, mengisahkan sang guru bangsa tersebut hidup berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Haji Agus Salim tampaknya menghayati betul nilai perjuangan yang dipercayainya, lieden is lijden (memimpin itu menderita). Tak jarang kontrakan yang ditempati Haji Agus Salim bersama keluarganya jauh dari kata layak, WC yang mampet atau genteng bocor kerap mereka rasakan, sehingga harus menggulung alas tidur agar tidak basah.
Haji Agus Salim sering menjadi simbol kesederhanaan. Tetapi di balik sosok sederhana tersebut ternyata menyimpan kecerdasan yang dikagumi banyak orang. Ketika usia 13 tahun, ia sudah meninggalkan kampung halaman di Kotagadang menuju Jakarta. Agus Salim masuk ke sekolah menengah Hoger Burgelijke School (HBS) milik Belanda yang ada di Batavia, Semarang dan Surabaya.
Ia berhasil merampungkan pendidikan dalam waktu lima tahun, sekaligus menyandang juara dengan nilai terbaik dari tiga HBS Belanda yang ada pada waktu itu. Sempat bercita-cita melanjutkan sekolah. Namun keinginannya pupus setelah pengajuan beasiswanya ditolak Belanda. Tidak ada beasiswa untuk inlander!
Tetapi bagi Agus Salim berlajar tidak harus di sekolah. Ia kemudia tekun membaca buku-buku berbahasa asing. Hal serupa ia tularkan kepada anak-anaknya sejak kecil. Sehingga mereka mampu berbahasa asing dengan baik karena terbiasa membaca buku dan mendengarkan Agus Salim menguncapkan bahasa asing.
Haji Agus Salim dikenal mengusai sedikitnya sembilan bahasa. Menurut Prof. Schermerhorn, utusan Belanda dalam perundingan Linggarjati, kesembilan bahasa tersebut adalah Bahasa Arab, Turki, Inggris, Perancis, Jepang, Belanda, Jerman, Latin dan Mandarin. Selain bahasa ibu, Bahasa Minang, Melayu, Jawa dan Sunda.
Dengan kemampuan bahasa asingnya, Haji Agus Salim dipercaya mewakili Indonesia dalam berbagai forum internasional. Satu di antara yang terpenting adalah misi diplomatiknya kepada Mesir, bersama AR Baswedan dan HM Rasyidi, agar Mesir mau mengakui kemerdekaan RI. Kelak, di kemudian hari, misi diplomasi inilah yang menjadi cikal-bakal dukungan dunia internasional, khususnya Negara-negara Islam di timur tengah kepada Indonesia. [e]