Perlukah Pendidikan Antikorupsi itu ?

PERLUKAH PENDIDIKAN ANTIKORUPSI ITU ?

Korupsi merupakan masalah yang sistemik sehingga upaya pemberantasannya harus dilakukan dari berbagai arah, tidak bisa secara parsial.  Menurut Huntington, korupsi adalah buah dari berkembangnya kesadaran politik dan meluasnya kesempatan untuk turut dalam kehidupan politik. Tingkat korupsi mengalami perubahan, tergantung pada perkembangan organisasi politik itu sendiri. Semakin kuat organisasi politik maka tingkat korupsi semakin berkurang. Demikian pula sebaliknya, carut marutnya organisasi politik yang ada, mendorong tumbuh suburnya korupsi.

Korupsi merupakan fenomena universal. Ia berpeluang tumbuh dan berkembang di negara-negara ketiga yang tidak mempunyai partai politik yang efektif. Cirinya adalah pribadi, golongan, keluarga, suku, teman lebih diutamakan.

Sekolah memang merupakan wahana peletakan batu awal dalam membentuk manusia-manusia yang berbudi pekerti luhur. Ibarat “kawah candradimuka”. Setelah keluar, akan lahir insan-insan yang bermoral yang tidak korup. Tetapi akan menjadi tidak rasional bila semua tanggung jawab mencetak manusia yang bermental tidak korup itu dibebankan sekolah. Dan menjadi semakin berat bila tugas memberantas korupsi itu sepenuhnya dibebankan guru di sekolah.

Oleh karena itu, diskursus memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah -menyusul upaya pemberantasan korupsi melalui aturan yang normal mengalami kebuntuan- perlu dikaji ulang. Sebab hanya akan menambah berat beban kurikulum pendidikan di Indonesia. Di samping itu tidak ada jaminan korupsi bisa dimusnahkan.

Marilah  kita tengok ke belakang dengan mencermati sejarah, dunia pendidikan kita memiliki pengalaman yang  kurang menggembirakan dalam membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur (Pancasilais). Tentu belum hilang dari ingatan kita. Saat Orde Baru berkuasa dikenal BP7. Lembaga tersebut, setiap awal tahun pelajaran sibuk memberi penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) kepada siswa/mahasiswa. Butir-butir Pancasila dihafalkan. Setiap siswa hafal di luar kepala.  Pendidikan Moral Pancasila (PMP) didewa-dewakan, toh tidak menjamin mencetak manusia-manusia yang Pancasilais, justru Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme merajalela di era Orde Baru. Saya khawatir pendidikan antikorupsi akan bernasib sama dengan PMP di era Orde Baru.

Tidak seharusnya memaksakan diri memasukkan pendidikan antikorupsi ke dalam kurikulum sekolah menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri. Implementasi pendidikan antikorupsi bisa dilakukan guru dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai moral (affektif) ke dalam mata pelajaran yang diajarkan. Di samping itu isi pembelajaran juga harus dikemas melalui pendekatan multidimensi.

Pendidikan antikorupsi dapat dilaksanakan pada saat jam pengembangan diri, melalui kegiatan pembiasaan. Di samping itu, sangat mungkin dilaksanakan melalui pembelajaran yang terintregrasi ke dalam setiap mata pelajaran. Oleh karena itu, agar pelaksanaannya dapat berjalan efektif, maka pembelajaran harus diletakkan dalam kerangka mendewasakan anak, serta membangun insan-insan bermoral. Karenanya isi pembelajaran harus mencakup seluruh ranah (domain pembelajaran), yakni affektif, kognitif, dan psikomotor.

Tidak seperti pembelajaran yang jamak terjadi, ranah pengetahuan diagung-agungkan. Hasil pendidikan selalu diukur dengan angka yang menunjukkan kemampuan akademik siswa, sementara tak satupun guru memikirkan aspek mentalitas. Siswa dianggap berhasil bila mendapatkan angka-angka fantastik di raport/ijazah, tanpa mempertimbangkan aspek perilaku.

Upaya kongkrit guru agar siswa memahami essensi pendidikan antikorupsi adalah dengan tindakan kelas, mengingatkan dan memberikan pembinaan ketika menjumpai siswa yang mencoba melakukan perilaku menyimpang. Misalnya, menjelaskan sebab-sebab korupsi, menjelaskan bahaya korupsi, memberi contoh orang/pejabat yang tersandung rnasalah korupsi ketika masalahnya diputus pengadilan, memberi contoh sebuah bangsa yang rakyat/pejabatnya banyak yang korup. Bukankah guru selain bertugas mengajar, juga mendidik?

Pendidikan antikorupsi juga bisa dilakukan dengan menggelar bazaar/kantin kejujuran. Pada saat jam jam istirahat peserta didik dipersilakan jajan dengan cara swalayan. Mereka ambil jajanan sendiri, bayar-bayar sendiri. Kalau uangnya kembali, ambil kembalian sendiri. Sebelumnya, jajanan yang ada ditaksir terlebih dahulu. Misalnya, rata rata harga jajanan Rp. 500,00. Jumlah semuanya 1500 jajanan. Kalau semua habis, maka uang yang didapat Rp. 750.000,00. Seandainya semua jajan habis ternyata uang yang didapat tidak sampai tujuh ratus lima puluh ribu, maka ada sebagian siswa yang bermental korup

Keteladanan adalah strategi yang sangat ampuh dalam mengetrapkan pendidikan antikorupsi. Oleh karena itu guru harus memberikan keteladanan. Misalnya, guru masuk kelas tepat waktu. Itu contoh guru yang tidak korupsi waktu.

Pemimpin dan pejabat di negeri ini juga harus memberikan keteladanan. Kabar tentang mantan Bupati yang dipenjara, Jendral Polisi yang ditangkap KPK, Pimpinan Parpol kabur ke luar negeri karena diduga makan uang negara, wakil rakyat yang diduga korupsi , itu semua akan menyulitkan pelaksanaan pendidikan antikorupsi di sekolah. Ingat, siswa pada umumnya tidak pandai mendengarkan penjelasan-penjelasan guru dan para pejabat negeri ini. Akan tetapi mereka tidak pernah gagal dalam meniru tindakan-tindakan yang dilakukan mereka.