Siswa Dikepung Narkoba

Siswa Dikepung Narkoba

 

Narkoba sudah dikenal sejak 3400 SM ketika bangsa Sumeria memasuki wilayah Mesopotamia (sekarang Irak) dengan menyebutnya Hul Gil atau tanaman kegembiraan (Opium). Setelah diperkenalkan pada bangsa Assyiria, Babilonia, dan Mesir, Opium menjadi sebuah komoditi antarnegara. Perdagangan opium kian hari semakin ramai. Meski dampak yang ditimbulkan sangat merugikan manusia, mereka tidak memedulikan, bahkan larangan yang telah dibuat pun tidak dihiraukan.

Pada abad 18 kawasan Asia pernah menjadi produsen opium terbesar yang memengaruhi perdagangan dunia. Pemerintah Cina yang sudah mengetahui dampak buruk opium, melakukan razia dan memerintahkan semua pedagang Inggris untuk menyerahkan barang haram tersebut.

Namun hal itu tidak digubris para pedagang Inggris, bahkan Inggris mengirimkan armada kapal perangnya menuju perairan Cina. Saat itulah genderang Perang Candu yang pertama 18 Maret 1839 ditabuh. Dalam peperangan tersebut, Cina mengalami kekalahan. Sebagai konpensasi, Hongkong harus diserahkan Cina kepada Inggris. Hal yang sama terjadi pada saat perang candu kedua, sehingga Cina harus mengganti semua kerugian akibat perang.

Fakta sejarah tersebut merupakan sebuah potret, betapa susahnya membendung pergerakan arus narkoba. Baling-baling perdagangan narkoba digerakan dari berbagai penjuru mata angin. Bandul ekonomi menjadi lebih kuat dibanding bandul etika dan moral. Sopan santun diabaikan, hukum dilanggar, dan bila perlu dibeli.

Grafik kasus narkoba cenderung meningkat. Maraknya kasus narkoba disebabkan karena keuntungan dari bisnis barang haram tersebut cukup menggiurkan. Beberapa sumber mengkalkulasi keuntungan pabrik narkoba, dalam sebulan, mampu meraup keuntungan Rp. 10 Milliar. ltu satu pabrik.

Lemahnya law inforcement dan konteks sosiologis, yang kurang menguntungkan menjadi penyebab utama tumbuh suburnya perdagangan narkoba. Penjara bukan membuat tahanan narkoba jera, tetapi para bandar narkoba itu justru mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji besi. Hal ini diperburuk oleh intensitas kegiatan yang kian hari kian meningkat berpotensi menimbulkan tekanan (stres). Permasalahan ekonomi yang semakin komplek berpeluang menimbulkan keputusasaan.

Sementara, kita belum terlatih menyelesaikan persoalan secara konstruktif. Kecenderungan lari dan menghindar dari permasalahan dengan memilih cara instant kerap menjadi sebuah solusi alternatif.

 

Sekolah bebas narkoba

Rumah Sakit Ketergantungan Obat di Jakarta merilis bahwa dari penderita yang berusia 15-24 tahun, sebagian besar dari mereka adalah masih aktif di SMP/A. Hal ini merupakan sebuah bukti Sekolah berpotensi menjadi bidikan para bandit narkoba untuk dijadikan lahan empuk perdagangan narkoba.

Usia sekolah merupakan masa-masa transisi, dari masa anak-anak menuju masa remaja atau awal dewasa. Situasi dan kondisi pada masa tersebut kerap mengalami gejala perubahan dan dorongan rasa ingin tahu yang sangat kuat. Anak berusaha menemukan jati dirinya. Mereka kerap menonjolkan “akunya’, tapi aku yang aku yang sebenarnya, namun aku yang “ego”. Sehingga masa tersebut sangat rentan terhadap penyalahgunaan narkoba (abuse). Mereka menggunakan narkoba bukan untuk tujuan pengobatan, melainkan menikmati pengaruhnya.

Berbagai alasan mereka kemukakan. Mulai dari coba-coba (experimental use), mengatasi stress (situational use), bersenang-senang (recreational use), sosialisasi (social use), dan gaya hidup (life style). Padahal, dampak yang ditimbulkan sangat tidak baik terhadap fisik, mental, kehidupan sosial, bahkan sangat mungkin. mengandaskan masa depannya.

Beberapa jenis narkoba yang banyak beredar antara lain heroin (putauw), sabu-sabu (metamfetamin), ekstasi, ganja, obat tidur, inhalal1sia (uap yang dihirup), solven (zat pelarut), alkohol, dan nikotin. Dua jenis narkoba yang disebut terakhir kerap dikonsumsi siswa. Dalam bebeberapa kasus, tidak sedikit siswa terjaring razia karena ditemukan membawa minuman keras (miras) dan rokok.

Alkohol yang terkandung dalam miras berdampak buruk bagi peminumnya, karena akan menghambat kerja otak, rileks, mabuk, gangguan koordinasi tubuh, rasa malu dan takut berkurang, serta membahayakan bagi pengendara kendaraan bermotor. Apabila dikonsumsi dalam interval waktu lama akan merusak jantung, hati, lambung, dan saraf.

Sementara rokok mengandung nikotin yang menyebabkan ketergantungan. Di dalam rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia yang merusak kesehatan tubuh. Dampak buruk yang ditirnbulkan antara lain gigi dan kuku berwama coklat, denyut jantung bertambah, tekanan darah meningkat. Tidak hanya itu merokok juga dapat menimbulkan kanker, gangguan jantung, dan paru-paru.

Anak/siswa adalah generasi muda, tunas bangsa sekaligus pemilik masa depan bangsa. Oleh karena itu harus dijauhkan dari narkoba. Sekolah menjadi, jalan utama kemajuan dan perkembangan umat manusia. Ketika sekolah itu dikelola dengan baik dan sungguh-sungguh akan menghasilkan generasi yang sadar meyakini tujuan bangsanya. Memberi bekal ilmu pengetahuan, membangun mental, serta melatih ketrampilan merupakan cara terbaik melindungi siswa dari kepungan narkoba.

Guru sebagai agen pembelajaran tidak hanya bertanggungjawab membekali siswa ilmu pengetahuan semata. Mereka diharapkan juga menyibukkan diri menangani anak didiknya agar tidak terkontaminasi narkoba. Tidak hanya itu, guru harus senantiasa membimbing putra-putrinya meniti masa depan dengan menjauhi barang haram tersebut.

Beberapa upaya kongkrit yang bisa dilakukan untuk menyeterilkan sekolah dari narkoba antara lain : pertama, mengemas pembelajaran secara terintregrasi. Sosialisasi narkoba dilakukan di saat-saat pembelajaran berlangsung. Artinya, nerkoba tidak harus menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.

Kedua, melakukan kerjasama horizontal dengan Kepolisian, Dinas Kesehatan, dan Lembaga Psikologi. Kepolisian melakukan penyuluhan narkoba di sekolah dari sudut pandang hukum. Sementara dinas kesehatan memberikan sebuah gambaran dampak negatif narkoba bagi kesehatan tubuh. Dan pengaruh buruk narkoba terhadap mental kejiwaan menjadi bidang garapan lembaga psikologi.

Ketiga, melakukan tindakan nyata (real action). Melakukan razia, memasang spanduk/poster, mengadakan lomba pidato bertema “gerakan anti narkoba” misalnya. Dengan upaya ini diharapkan siswa akan mengetahui bahaya narkoba, baik dari sisi kesehatan maupun dari aspek hukum. Apabila upaya ini dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan, maka pada gilirannya nanti siswa akan mengatakan “TIDAK” dengan narkoba.