Kontemplasi Hari Kebangkitan Nasional

MEMPERTANYAKAN KOMITMEN

MEMBANGUN PENDIDIKAN YANG BERMORAL

 Seratus tahun lebih, tepatnya 20 Mei 1908, merupakan awal tumbuhnya kesadaran Nasional. Ditandai dengan beerdirinya sebuah organisasi modern, yakni Budi Utomo. Kelahiran Budi Utomo menjadi tetenger bangkitnya nasionalisme bangsa Indonesia. Melalui organisasi tersebut, tokoh-tokoh yang menjadi bagian panjang sejarah berjuang mewujudkan kemeerdekaan. Oleh karena itu, setiap tanggal 20 Mei selalu diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas).

Kebangkitan Nasional yang tumbuh sejak seabad yang lalu, tentu saja tidak bisa lepas dari peran organisasi pendidikan era penjajahan dengan sejumlah tokoh-tokonhya yang merupakan pelaku sejarah ketika mendirikan organisasi pendidikan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Sebab, organisasi pendidikan yang didirikan itu merupakan batu awal untuk membangkitkan rasa kebangsaan. Tonggak perjuangan itu diantaranya ketika Ahmad Dahlan mendirikan Perguruan Muhammadiyah (1912). Menyadari bahwa organisasi pendidikan merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan membentuk karakter bangsa, maka pada bulan Juli 1922, Ki Hajar Dewantoro, mendirikan Perguruan Taman Siswa. Kemudian disusul oleh kelompok pemuda di Jakarta, mendirikan Sekolah Perguruan Rakyat pada tahun 1928.

Pendidikan Nasional kala itu mempunyai ciri-ciri; pertama, mempersiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab peserta didik. Kedua, membuat anak didik berkembang merdeka, menjadi orang yang serasi, terikat erat dengan budaya sendiri sehingga terhindar dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, terhindar dari tekanan, rasa rendah diri, dan ketakutan. Ketiga, menyiapkan anak didik menjadi putra bangsa yang setia, berjiwa patriotisme, serta memiliki rasa pengabdian yang mendalam kepada nusa dan bangsa.

Oleh karena itu, hasilnya sudah dapat ditebak. Negarawan ulung, politisi sejati, dan cendekiawan, lahir melalui proses pendidikan pada saat itu. Para pemimpin itu selalu mengagungkan prinsip kepemimpinan yang mereka peroleh saat di bangku sekolah, yakni Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kalau diterjemahkan bebas artinya: Di depan memberikan contoh serta keteladanan, di tengah membulatkan dan mewujudkan tekad serta kehendak, di belakang selalu memberikan dorongan serta motivasi”

 

Pasang surut

Dalam perjalanannya, organisasi pendidikan mengalami pasang surut seperti gelombang laut, kadang besar seperti gelombang tsunami, kadang hanya menyeruakkan riak-riak kecil, dan bahkan tenang seperti air dalam bejana. Pada awal kemerdekaan, lembaga pendidikan mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Ditandai dengan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada (3 Maret 1946) di Yogyakarta (sekarang UGM), disusul Universitas Airlangga Surabaya, yang didirikan pada 10 November 1954, bertepatan dengan hari Pahlawan.

Hal serupa terjadi di dalam tubuh organisasi tenaga pendidiknya. Berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), 25 November 1946 menjadi buktinya. Perkembangannya pun sama, mengalami pasang surut. Pada masa keemasannya, PGRI sukses membidani lahirnya Asuransi Bumi Putera. Namun, ketika panggung politik nasional didominasi PKI, PGRI seperti dihantam badai. Tanda-tanda perpecahan di tubuh organisasi guru tersebut mulai tampak. Perpecahan itu bukan disebabkan karena perbedaan pendapat antarguru, tapi dipicu ambisi golongan kiri. Faham komunis mulai menyusup, sehingga lahir istilah PGRI vak sentral dan nonvak sentral. Perpecahan pun tak dapat dihindari.

Di era Orde Baru, ketika Presiden Soeharto berkuasa, perkembangan PGRI tenang, layaknya air dalam bejana. PGRI berada dalam pressure kelompok politik orde baru. Ia menjadi corong Golongan Karya (Golkar) yang saat itu menjadi kendaraan politik Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Para guru pada saat itu miskin ekonomi. Namun kemiskinan tersebut diterbangkan oleh Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa menuju tempat yang membuat para guru tertidur pulas. Kalau pun ada riak-riak kecil menyeruak ke permukaan, tidak lama pasti akan ditenggelamkan.

Di era reformasi, atau masa transisi saat Presiden Habibie berkuasa, melahirkan kebijakan-kebijakan yang “berpihak” pada pendidikan. Gaji guru naik cukup signifikan. Keberpihakan itu berlanjut ketika republik ini dipimpin oleh Presiden KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Puncaknya, ketika Pemerintah mengalokasikan 20 persen Anggaran Pendidikan dalam APBN/D.

Pikiran dan tenaga banyak terkuras hanya memperdebatkan anggaran pendidikan yang cukup fantastik itu. Kualitas proses dan hasil pendidikan dipinggirkan. Tidak ada kemajuan yang signifikan. Padahal, kualitas proses dan hasil pendidikan itu yang seharusnya mendapat penanganan yang serius dan memadai. Akibatnya, meskipun sudah seratus tahun  lebih kebangkitan nasional, dunia pendidikan masih juga belum mampu bangkit dan beranjak dari keterpurukkan.

Serangkaian proses pendidikan berlangsung penuh cacat. Akibatnya, hasil pendidikan tidak seperti yang diharapkan. Keberhasilan sekolah hanya diukur dari aspek akademik semata. Sekolah dinilai maju diukur dari tingginya nilai yang diperoleh peserta didiknya pada saat ujian akhir. Demikian juga, peserta dinilai sukses manakala mampu mendulang nilai yang cukup tinggi pada saat ulangann. Moral peserta didik sama sekali tidak memperoleh penanganan yang berarti. Guru sibuk memikirkan kemajuan sekolah.

Pendidikan saat ini terlalu mengagung-agungkan sains dan matematika. Sementara, pendidikan budi pekerti tidak diurus. Aspek moralitas dipinggirkan. Para guru tidak menyibukkan diri menangani kerusakan moral yang mempengaruhi peserta didik. Mereka hanya berpikir tentang ujian-ujiain dan keberhasilan sekolah. Para guru hanya menyibukkan diri memenuhi memori-memori dan tertarik dengan berita dan canda. Pendidikan yang sejati dipinggirkan.

Akibarnya, noktah hitam kembali berserak di dunia pendidikan. Kerusakan moral yang terjadi belakangan ini diduga merupakan buah dari buruknya sistem dan proses pendidikan. Komitmen membangun pendidikan yang bermoral dipertanyakan. Visi menciptakan sumber daya manusia yang unggul dalam Iptek dan Imtaq, hanya tertulis rapi di atas kertas. Pendidikan menghasilkan penjahat-penjahat yang cerdas di stigmakan masyarakat terhadap dunia pendidikan saat ini. Betapa tidak, mereka yang melakukan pelanggaran terhadap norma sosial, agama, hukum, yang belakangan mengedepan adalah orang-orang yang berpendidikan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beranggotakan orang-orang pilihan, mekanisme rekrurmennya melalui fit and proper test, non partisan dan independent, namun dalam melakukan tugasnya justru menyisakan persoalan etik yang mengejutkan. Ada di antara anggotanya, diam-diam terbongkar melakukan tindakan yang tidak terpuji, korupsi.

Anggota DPR yang pada saat kampanye lantang akan memperjuangkan hak rakyat, namun ketika menduduki kursi legislatif, malah mengkhianati konstituennya. Mereka hanya berpikir bagaimana caranya mengembalikan uangnya yang habis dibelanjakan pada saat memobilisasi massa. Sehingga sebagian besar dari mereka dilaporkan juga melakukan korupsi. Bahkan predikat sebagai lembaga terkorup pun disandangnya. Tidak hanya itu, sejumlah anggota wakil rakyat ditemukan melakukan tindakan-tindakan asusila.

Di kalangan yudikatif, vonis palsu yang diketuk hakim dan atau jaksa nakal masih kerap dijumpai. Sehingga menjadi hal yang tidak mengherankan bila lembaga peradilan, seperti pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian dicitrakan sebagai mafia peradilan yang sistemik. Menyakitkan memang, namun itulah kenyataannya.

Juga para gubernur dan bupati. Tidak sedikit di antara mereka yang harus tidur di hotel prodeo. Mereka diam-diam dilaporkan melakukan tindakan merugikan negara miliaran rupiah untuk memperkaya diri sendiri. Ironis memang. Pasalnya, tindakan-tindakan tersebut dilakukan di saat sebelurn menjabat mereka selalu bilang akan mengayomi menyejahterakan rakyatnya.

Demikian pula di kalangan pendidik. Guru yang seharusnya digugu dan ditiru (dipercaya dan diteladani) justru melakukan tindakan tak terpuji. Diam-diam Polisi memanggil delapan guru-kasek. Mereka diduga terlibat upaya membagikan kunci jawaban Unas. (Jawa Pos 24/04/1013). Sebuah potret guru dan kasek busuk. Nggak tahu kenapa orang-orang buruk itu bisa jadi kasek

Fakta di atas, sungguh merupakan sesuatu yang sangat kontradiktif dengan Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Menurut Pasal ayat (1) UU tersebut dijelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Cerita tentang tindakan tercela yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan seolah menjadi pembenar pandangan Ivan Illich. Ia melakukan kritik yang cukup pedas melalui bukunya Deschooling Society. Buku itu menjelaskan bahwa lembaga sekolah atau sistem pendidikan modern tidak akan membawa perubahan bagi peserta didik maupun masyarakat. Kritik yang tidak kalah pedasnya juga dilakukan koleganya, Everett Reimer. Reimer bilang bahwa “school is dead”.

Sekolah hanya peduli untuk menyelesaikan tuntutan materi pelajaran yang terangkum dalam kurikulum. Dan peserta didik hanya berpikir lulus ujian. Akibatnya, kelulusan bukanlah bukti keberhasilan yang memadai sebagai bekal dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain sekolah bertujuan hanya untuk mencari selembar kertas yang kerap disebut Ijazah.

Seratus tahun lebih Kebangkitan Nasional patut dijadikan momentum untuk merenung, menata diri untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah. Komitmen membangun pendidikan yang bermoral harus diwujudkan agar pada gilirannya nanti melahirkan tunas-tunas bangsa yang tidak hanya cerdas, tapi juga berakhlak mulia. Seperti yang diamanatkan dalam UU No. 20/2003. Semoga!

 

 

 

2 thoughts on “Kontemplasi Hari Kebangkitan Nasional

  1. Kalau berbicara masalah korupsi memang sudah menggurita di negeri ini termasuk di dalam dunia pendidikan. Lebih ironis lagi untuk pengadaan Alquran saja di korupsi. Komitment untuk memberantas korupsi masih sebatas retroika saja. Indonesia tetap bisa mempertahankan “reputasi”nya negara no 5 terkorup di dunia. Kalau Indonesia ingin maju penyakit yang satu harus diberantas habis sampai keakar-akarnya. Percuma dana pendidikan sebesar 20 % dari APBN ternyata mutu pendidikan Indonesia tidak berubah dan biaya pendidikan juga semakin mahal dari hari ke hari

Comments are closed.